BAUKSIT (AI203) – Keterlibatan ASN ketika tersandung kasus dan tetapkan sebagai tersangka, diinstruksikan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyebutkan bahwa PNS akan diberhentikan sementara apabila ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana. Keterlibatan PNS dalam kasus pidana, harus diproses tanpa mengurangi ketentuan dalam peraturan UU pidana & PNS itu juga harus diproses berdasarkan peraturan kepegawaian.
Kesimpulannya, PNS yang terlibat kasus hukum berstatus tersangka, wajib menerima konsekuensi & proses hukum sebagai sanksi disiplin (pemberhentian sementara) yang menunjukan manajemen kepatuhan terhadapa hukum dan etika ASN
KEPRINEWS – Oknum pejabat Pemko Tanjungpinang yang saat ini menjabat sebagai salah satu Kepala Bagian di Sekretariat Daerah Pemko, diduga menjadi tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Kepri berinisial BSK. Keterlibatannya sehubung dengan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi pemberian izin usaha pertambangan di Provinsi Kepri tahun 2018-2019, berdasarkan surat perintah penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Kepri nomor Print – 241/L.10/Fd.1/07/2019 tertanggal 4 Juli 2019.
Kasi Penkum Kejati Kepri Ali Rasab Hasibuan saat dikonfirmasi KepriNews.co belum lama ini via Whatsapp, mengatakan sesuai press realis dari Kajati, berstatus tersangka pada kasus tambang tersebut ada 12 orang. Ketika ditanya apakah inisial yang tertulis pada press realis kejaksaan berinisial BSK itu adalah oknum pejabat pemko, Ali menjawab tidak tau pasti akan hal itu, hanya tau inisial saja.
Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Tanjungpinang Samsudi ketika dikonfirmasi KepriNews.co belum lama ini, mengatakan hanya sebatas mendengar dan mengetahui tentang keterlibatan oknum pejabat Pemko yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pertambangan.
“Tapi kami tidak bisa mengambil keputusan apapun sebelum ada perintah atau surat resmi dari atasan kami. Hingga saat ini BKPSDM belum menerima perintah apa pun dari Plt Walikota Rahma mengenai salah satu pejabat di Pemerintahan Kota Tanjungpinang yang diduga menjadi salah satu tersangka kasus penambangan Bauksit ilegal,” tuturnya.
Santy Arina salah satu aktivis pecinta lingkungan hidup yang sedikit banyak tahu mengenai persoalan penambangan di Pulau bintan Kamis (28/05/2020) menjelaskan seputar kerugian yang dialami negara dari perbuatan sejumlah perusahaan yang berkonspirasi merekayasa penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tidak sesuai mekanisme UU minerba dan peruntukannya sesuai instruksi aturan main pertambangan.
Dijelaskannya, BSK sebagai ASN terlibat kasus tambang yang berperan sebagai komisaris pada CV Buana Sinar Khatulistiwa (BSK). Dikatakan secara bersamaan merugikan negara sekitar ratusan miliar, itu diuraikan sebagai berikut. Terkait permasalahan ini, jelas kerugian keseluruhan terdapat pada beberapa jenis penerimaan negara berbentuk PNBP, hasil penjualan bauksit yang wajib disetorkan ke Kas Negara oleh pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) untuk penjualan Bauksit di Bintan.
Dan sebetulnya ini telah dilakukan oleh semua pemegang izin. Perusahaan yang mendapatkan izin walaupun itu berstatus bodong, tidak melakukan kewajiban dengan benar, yaitu tidak berupaya melakukan pembayaran pajak pada kegiatan penjualan, berdasarkan izin yang direkom ESDM.
Serangkaian izin IUP OP yang berkewajiban memberikan Hak Negara yaitu terdiri:
A. IURAN PRODUKSI.
B. BEA KELUAR MINERAL.
C. TARIF BEA-BEA KELUAR. IURAN PRODUKSI dibayar sebesar 3.75% x HPE x Vol jual (UU Minerba 04 Th 2009 pasal 105).
BEA KELUAR MINERAL dibayarkan sebesar 10% x HPE x Volume jual (Permenkeu 13 th 2017 tentang Penetapan barang ekspor Bertarif). TARIF BEA KELUAR dibayarkan sebesar 7.5% x HPE x Volume jual (persentase kemajuan pembangunan smelter).
Dari 3 jenis penerimaan tersebut, jika kegiatan penjualan bauksit di Bintan sebesar 1 juta ton, maka total penerimaan negara yang diterima sebesar: T1 + T2 + T3 ~ Rp56,2 miliar. Jadi dalan hitungan 1 juta ton, kewajiban perusahaan menyetor hak daerah sebesar Rp56,2 miliar. Jumlah ini dikalikan dengan jumlah hasil dieksploitasi yang diperkirakan dalam volume penjualan terdapat sekian juta ton, makan seharusnya negara mendapatkan hak-nya ratusan miliar rupiah.
Dari kegiatan tambang ini, dengan jelas negara dirugikan ratusan miliar rupiah, yang notabanenya wajib dipertanggungjawabkan oleh sejumlah perusahaan dari hasil produksi AI203. Jumlah ini termasuk kegiatan tambang CV BSK dalam mempertanggungjawabkan hak negara, di luar sanksi hukum tindak pidana korupsi pemberian izin usaha pertambangan yang menjadi dasar proses pemeriksaan Kejati. Adapun sebagai bukti pembayaran berupa BPN (bukti penerimaan negara) sampai saat ini tidak dapat tunjukan, dibuktikan oleh pemegang 19 IUP Operasi Produksi untuk penjualan bauksit di Bintan.
Artinya, dapat dipastikan, bahwa penerimaan uang negara sebesar ratusan miliar tidak disetorkan, meskipun kenyataannya bauksit hasil kegiatan di lokasi Bintan telah raib alias hilang tanpa bekas. fakta tersebut, didukung dengan tidak adanya kegiatan pengapalan/penjualan bauksit yang dilakukan oleh badan usaha pemegang izin untuk penjualan bauksit yang terkonfirmasi saat itu.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa akibat kegiatan pengambilan mineral tergali oleh Badan Usaha Non tambang dengan menggunakan izin tidak sesuai peruntukan (IUP Operasi Produksi Untuk Penjualan Bauksit-red) yang diterbitkan oleh DPM-PTSP atas Rekomendasi Dinas ESDM telah mengakibatkan kerugian negara yang besar, kerusakan hutan yang ditinggalkan begitu saja tanpa dilanjutkan pembangunan fisik saat pasca tambang. Catatan sebagai pembohongan/penipuan yang dilakukabn terhadap negara untuk mencuri sumber daya alam atau kekayaan alam, menjadi tugas Kejati untuk penegakan hukum.
“Untuk itu pihak Kejati yang sebelumnya telah melakukan pemeriksaan terhadap 25 saksi pada awal penyidikan, dan sejauh ini telah menetapkan 12 tersangka agar dapat ditingkatkan ke pengadilan untuk dapat dipertanggungjawabkan perbuatan mereka yang melakukan tindakan pidana pemalsuan/rekayasa dokumen negara bersifat izin usaha pertambangan,” tutupnya. (RS/01/Tim)