Belum selesai proses hukum akibat Pemprov Kepri mengeluarkan izin tambang bodong, kembali terkuak pencairan Dana Jaminan Pengelolaan Lingkungan (DJPL) atau dana reklamsi PT Sahnur dengan alasan telah melakukan revitalisasi lingkungan dengan capaian keberhasilan 100 persen di Tanjung Mocco kawasan FTZ. Artinya aktifitas tambang tidak pernah ada alias fiktif, sehingga dokumen berita acara keberhasilan reklamasi untuk pencairan diduga difiktifkan.
KEPRINEWS – Melalui penuturan dari salah satu pegawai ESDM (namanya dirahasiakan) kepada KepriNews.co, Senin (15/02/2021) dibeberkan, bahwasannya penjelasan dari Kasi Teknik Lingkungan Dinas ESDM Kepri, Reza Muzzamil Jufri kepada wartawan baru-baru ini, perlu diuji dan berkemungkinan tidak benar, artinya disinyalir memutarbalikan fakta dari eksistensi sebenarnya.
Dijelaskannya PT Sahnur itu memang hampir melakukan aktivitas tambang di Tanjung Mocco. Sampai peralatan pertambangan pada waktu itu sudah standby untuk melakukan eksploitasi bauksit. Namun karena sesuatu dan lain hal, sehingga operasi pertambangan tidak sempat dilakukan. Dan diketahui bahwa perusahaan ini hanya sebatas membeli bauksit dari hasil penambang lainnya.
Yang dijelaskan Kasi Teknik Lingkungan itu mengenai realisasi reklamasi oleh PT Sahnur sudah memenuhi standar dan sesuai UU, itu jelas manipulasi. Dimana PT ini tidak pernah melakukan sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas reklamasi.
Mulai dari penataan sampai pematangan lahan di lokasi rencana pertambangan PT Sahnur, itu dilakukan Pemprov Kepri untuk pembangunan jalan dengan nilai anggaran Rp28 miliar.
“Saya pun bingung, berita acara keberhasilan reklamasi PT Shanur tersebut, itu dilakukan Pemprov dikarenakan akan membangunan jalan. Menggunakan dana APBD, bukan dana perusahaan. Tapi kok bisa dijadikan laporan dokumen kegiatan reklamasi untuk mencairkan dana reklamasi yang berjumlah sekitar Rp5 miliar,” herannya.
Sesuai UU untuk pencairan dana Jaminan reklamasi mulai dari permohonan pencairan harus berdasarkan hasil peninjuan lapangan, dibuatkan dalam berita acara yang memuat penilaian keberhasilan reklamasi lahan terganggu akibat kegiatan pertambangan, disusun berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dilakukan secara benar sesuai fakta dan data yang riil.
Ditambahkan lagi oleh Koordinator Lembaga Pemantau Kinerja Pemerintah (LPKN) Yenny, kepada kepada KepriNews.co Selasa (16/02/2021), mempertanyakan pembayaran pajak dari PT Sahnur atas kegiatan penjualan bauksit. Jadi terindikasi perusahaan ini telah berkonspirasi untuk mengeluarkan rekomendasi pencairan DJPL.
Selain melanggar Keputusan Menteri ESDM nomor 1827 K/30/MEM/20018 mengenai penempatan dana jaminan reklamasi dan pasca tambang yang seharusnya di bank pemerintah atau bank swasta nasional, tapi faktanya pencairan dana tersebut melalui bank daerah PD BPR Bestari.
“Untuk itu kami harapkan aparat penegak hukum agar dapat melakukan penindakan hukum secara tegas. Kronologis pencaiaran DJPL mulai dari pengajuan permohonan pencairan pada bulan Mei 2020 lalu dan dicairkan pada Desember 2020 perlu diusut. Kegiatan pertambangan saja fiktif, apa lagi pencairan DJPL, sudah pasti itu fiktif,” pungkasnya.
Penegakan Hukum Dari Aspek Reklamasi Berdasarkan Standar Regulasi Mandul
Penindakan terhadap pelanggaran kewajiban penempatan jaminan reklamasi dan pasca tambang di wilayah Kepri masih lemah. Penerapan sanksi, baik secara administratif maupun pidana seharusnya diterapkan secara tegas dan efektif terhadap pemegang IUP yang belum memenuhi persyaratan reklamasi dan pascatambang.
Dijelaskan Yenny, aktivitas pertambangan menjadi ancaman besar bagi kelestarian lingkungan, dapat mengubah topografi lahan, meninggalkan dampak berlubang, genangan air, merubah fungsi lahan dan ekosistem lingkungan. Untuk itulah diwajibkan kegiatan reklamasi dan pasca tambang yang menjadi satu kesatuan rangkaian kegiatan pertambangan sebagai wujud dari pelaksanaan prinsip dan standar praktik pertambangan yang baik (good mining practices).
Penempatan dana jaminan reklamasi dan pasca tambang ini berfungsi sebagai wujud tanggung jawab dan komitmen perusahaan untuk mengelola dan menanggulangi dampak lingkungan, baik dari kegiatan eksplorasi, operasi produksi, maupun fase pascatambang. Hingga saat ini, implementasi tersebut pada faktanya tidak direalisasi. Sehingga perubahan rona lingkungan yang rusak akibat aktivitas tambang meninggalkan segelintir permasalahan.
Dinilai berbagai pihak baik pelaku usaha maupun pemerintah cenderung berlepas tangan atas situasi kerusakan hutan yang terjadi. Tanpa adanya penegakan hukum, apalagi belum terlihat hasil yang signifikan dari sisi perbaikan pelaksanaan kewajiban reklamasi dan pasca tambang di sektor ini harus ditegakan.
Seharusnya pengelolaan pertambangan mengedepankan prinsip-prinsip berkelanjutan mutlak untuk dari aspek kelestarian lingkungan agar tetap terjaga. Kewajiban reklamasi dan pasca tambang diatur di dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 26 Tahun 2018 tentang pelaksanaan kaidah pertambangan, wajib dikontrol dan disanksi berdasarkan instruksi UU.
Pada prinsipnya, persoalan tata kelola pertambangan dampak buruk kondisi lingkungan dan sosial, menjadi potret buruknya proses kontrol serta implementasi UU. Walaupun perusahaan yang secara prosedur telah menyalahi regulasi dan standar kegiatan pertambangan dibiarkan lolos dan leluasa tanpa ada sanksi pidana pengrusakan lingkungan.
“Jadi harapan bersama agar ada tindakan tegas untuk kerusakan lingkungan di Kepri yang terjadi akibat kegiatan pertambangan. Terlebih kasus dugaan berita acara pencairan dana jaminan reklamasi ini yang berjemaah. Kami minta secepatnya aparat hukum dapat mengusut tuntas pelanggaran hukum atas pencairan dana reklamasi Rp5 miliar yang dilakukan tidak berdasarkan fakta kegiatan termasuk dokumen-dokumen reklamasi yang fiktif,” tegasnya. (TIM)