Untuk Jabatan publik maupun politik seperti jabatan walikota dalam negara hukum, mempunyai rentang waktu pergantian dengan mekanisme yang diatur secara baku dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan. Pergantian jabatan dilakukan sebelum rentang waktunya berakhir dinamakan pemakzulan, impeachment atau forum previlegiatum. Proses pemakzulan harus mempunyai legitimasi secara hukum dan jelas, pada pelaksanaannya lebih sering disebut dikooptasi oleh legitimasi politik.
KEPRINEWS – Terkait wacana pemakzulan Walikota oleh DPRD Tanjungpinang, yang disampaikan pada Rapat Paripurna oleh Ketua DPRD, Jumat (29/10/2021) menimbulkan polemik baru yang tidak sehat di tengah masyarakat.
Seperti ungkapan-ungkapan terihat di sejumlah media sosial facebook. Salah satu ungkapan warga Tanjungpinang tertulis ‘Malu saya jadi warga tgpinang mendapati anggota DPRD saya masih kurang jauh ngopinya membaca tatib atau setidaknya PP 12/2018.’
Dalam hal ini dijelaskan oleh Ketua Umum Lembaga Pemantau Kinerja Pemerintah (LPKP) Mhd Hasim, kepada KepriNews.co baru-baru ini, bahwa prosedur aturan Pemakzulan sangat jelas dalam undang-undang yang belarku, bukan aturan berdasarkan sakit hati, ego, emosi, tapi berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Melihat dari stadium hukum mekanisme pemberhentian sementara Kepala Daerah berdasarkan Pasal 83 Ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah harus diawali dengan adanya status seorang kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai terdakwa dalam tindak pidana kejahatan.
Selanjutnya proses dilakukan pemberhentian sementara kepala daerah harus berdasarkan register perkara di Pengadilan dan yang berwenang untuk memberhentikan kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai terdakwa ialah Presiden untuk gubernur, dan Menteri untuk Bupati atau Walikota tanpa melalui usulan DPRD.
Berbicara istilah pemakzulan. Terminologi pemakzulan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ”makzul” berarti berhenti memegang jabatan atau turun takhta. Aturan yang berlaku diberhentikannya kepala daerah apabila adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Secara spesifik dan substantif soal mekanisme pemakzulan sampai terjadi pemberhentian diatur di dalam pasal 80 ayat 1 huruf a s/d huruf e UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Ditambahkannya dalam pasal 80 Ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2014 itu dinyatakan bahwa pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 78 ayat 2 huruf c, d, e dan f dilaksanakan dengan ketentuan:
a. Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden untuk gubernur/wakil gubernur serta kepada menteri untuk bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah/wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah/wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 huruf b atau melanggar larangan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 ayat 1, kecuali huruf c, huruf i, huruf j dan/atau melakukan perbuatan tercela;
b. Pendapat DPRD sebagaimana dimaksud pada huruf a diatas diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir;
c. Mahkamah Agung memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 hari setelah permintaan DPRD diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final;
d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajibannya sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah atau melanggar larangan dan/atau perbuatan tercela, pimpinan DPRD menyampaikan usul kepada Presiden untuk pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur dan kepada Menteri untuk pemberhentian bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota;
e. Presiden wajib memberhentikan gubernur dan/atau wakil gubernur paling lambat 30 hari sejak Presiden menerima usul pemberhentian tersebut dari pimpinan DPRD; dan
f. Menteri wajib memberhentikan bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota paling lambat 30 hari sejak Menteri menerima usul pemberhentian tersebut dari pimpinan DPRD.
“Sementara wacana pemakzulan yang dilakukan DPRD Tanjungpinang sudah dijawab secara tertulis oleh oleh Walikota dengan nomor surat 910/1350/4.4.01/2021 dan menjawab secara sah kenapa tidak bisa memenuhi undangan paripurna DPRD dengan agenda penyampaian pidato Wali Kota Tanjungpinang terhadap pandangan fraksi-fraksi DPRD terhadap pidato jawaban wali kota tentang hak interpelasi DPRD Kota Tanjungpinang atas Perwako Nomor 56 tahun 2021,” tuturnya.
Ditambahkannya, pada Pasal 65 Ayat (6) UU Nomor 23 Tahun 2014 telah diatur, apabila kepala daerah atau wakil kepala daerah berhalangan sementara, maka sekretaris daerah (sekda)-lah yang melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah atau wakil kepala daerah.
“Jadi bukan saatnya menunjukan ajang power sebagai lembaga rakyat, yang seharusnya sebagai representasi rakyat, DPRD mempunyai fungsi pembentukan peraturan daerah, anggaran dan pengawasan. Kenapa APBD-P tidak diketuk, apa yang dikerjakan selama ini. Harus digaris bawahi DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah salah satu kewajiban utamanya mengesahkan anggaran APBD, bukan pakai acara pemakzulan tanpa mempunyai legitimasi secara hukum dan jelas ,” tuturnya. (TIM)