KEPRINEWS – Pengadaan cetak buku Peraturan Daerah (Perda) Kota Tanjungpinang nomor I tahun 2024, tentang pajak daerah dan retribusi, sebanyak 2.100 buku, tahun anggaran (TA) 2024, menjadi sorotan publik.
Di mana, isi buku yang dicetak sudah tersedia di platform digital aplikasi mobile Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Pemko Tanjungpinang. Masyarakat dapat dengan muda membaca atau mengakses isi Perda yang tertuang dalam buku tersebut.
Sekretaris Lembaga Pemantau Kinerja Pemerintah (LPKP) Lanny, kepada keprinews.co, Rabu (22/1), mengatakan, bahwa pelaksanaan cetak buku tersebut, di saat Pemko Tanjungpinang berada dalam kondisi defisit dan sedang melakukan penghematan anggaran.
Di TA 2024, semua OPD, tidak terkecuali, dilakukan rasionalisasi anggaran, membuang kegiatan-kegiatan yang dianggap belum penting dan urgensi. Bahkan sebagian kegiatan yang menurutnya bermanfaat, bersentuhan langsung dengan masyarakat, ikut tereliminasi.
“Dengan mencetak ribuan buku tersebut, terjadi tumpang tindih dengan aplikasi JDIH yang sudah disiapkan Pemko. Apa gunanya keberadaan JDIH, dan apa urgensi-nya dicetak, di saat Pemko lagi kesusahan,” ucapnya.
Pertanyaannya, kenapa bisa diloloskan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TPAD) pengadaan cetak buku tersebut, yang tidak ada manfaatnya secara langsung. Standar penilaian TPAD melakukan rasionalisasi itu seperti apa.
Kompleksitas anggaran yang diterapkan untuk penyesuaian keuangan dipertanyakan. Pasalnya, berbagai program kegiatan yang dianggap bermanfaat, diharapkan masyarakat, dipangkas TPAD. Tapi pengadaan cetak buku ini diloloskan. Artinya pengambilan kebijakan TPAD melakukan rasionalisasi tidak mengedepankan prinsip keadilan dan pemanfaatan.
“Kalau pengadaan cetak buku ini yang menyerap ratusan juta rupiah bisa direalisasikan, saya meragukan kebijakan TPAD dalam mengatasi defisit, bisa dibilang pilih kasih. Pada hal, jelas pengadaan itu merupakan pemborosan,” tegasnya.
Salah satu pegawai di BPPRD (namanya dirahasiakan-red) membeberkan, bahwa pelaksanaan cetak buku indikatornya hanya mengejar keuntungan, apa lagi uang pengadaan ini dari Pokir dewan. Dalam pelaksanaan cetak buku tersebut tidak mengikuti tahapan-tahapan dan mekanisme pengadaan.
“Yang saya tahu, pengerjaan cetak buku ini tidak sesuai dengan harga yang tertera di Surat Pertanggungjawaban (SPj), diduga terjadi penggelembungan anggaran atau mark up. Dikarenakan pengadaan ribuan buku itu tidak memilik sasaran dan target yang jelas, akhirnya 2.100 buku yang tercetak, tidak tahu mau diapain. Berujung, buku-buku tersebut dibagikan ke OPD-OPD sampai ke kantor-kantor kelurahan yang faktanya tidak digunakan,” terangnya.
Seperti yang dikatakan oleh salah satu pejabat di Pemko Tanjungpinang, menambahkan, pemberian buku dari BPPRD tidak pernah dipesan, atau permintaan OPD. Yang dibagikan ke OPD akhirnya tidak dibaca, hanya ditaruh begitu saja di lemari kantor. Apa lagi, isi dari buku itu sudah tersedia di JDIH, mubazir.
“Ngapain mau capek-capek pegang buku, kalau ada yang lebih praktis dan simple, dapat diakses melalui handphone di JDIH. Ini kerja bodoh namanya. Pemborosan anggaran itu, suatu pelanggaran yang menabrak aturan, apa lagi ada bau-bau mark up,” sebutnya, sembari meminta wartawan agar namanya jangan disebut.
Kepala BPPRD Said Alvie, menanggapi hal ini, mengatakan pada prinsipnya tentu menjalankan kegiatan itu perlu diperhatikan manfaatnya. Di BPPRD ada kegiatan penyebarluasan informasi pajak daerah.
Artinya Perda yang disahkan oleh DPRD agar disebarluaskan ke masyarakat, dalam hal ini, wajib pajak daerah. Seperti di restoran dan lain-lain. Tidak semua semua masyarakt paham dengan JDIH.
“BPPRD sangat pas untuk mencetak Perda karena berkaitan dengan Tupoksi. Namun apabila yang dicetak tidak berkenaan dengan Tupoksi, mungkin itu bisa dikatakan mubazir,” jelasnya.
Lanju Said, misalkan BPPRD cetak Perda Pendidikan, itu jelas salah dan mubazir. Apalagi Perda ini Perda baru turunan dari UU nomor I tahun 2022. Jadi wajar untuk diketahui seluruh masyarakat selaku wajib pajak daerah. (un-tim)