OPINI – Baju atau pakaian bukan hanya sekadar penutup tubuh kebutuhan pakaian juga memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari kita.
Pakaian merupakan salah satu cara utama untuk menyampaikan identitas dan ekspresi diri. Gaya busana yang dipilih dapat mencerminkan kepribadian, minat, dan nilai-nilai seseorang.
Selain menunjang penampilan, pakaian juga berfungsi sebagai perlindungan tubuh dari cuaca dan kesehatan karena pakaian yang bersih dan kualitasnya baik akan membuat kita nyaman.
Pakaian tidak hanya dijual dalam kondisi yang baru dan bersih namun juga banyak ditemukan penjual pakaian bekas baik yang menjual secara langsung dan melalui media sosial.
Pemerintah sebenarnyan sudah membuat larangan, pada tahun 2021 Menteri Perdagangan yaitu bapak Zulkfili Hasan sudah mengeluarkan pernyataan bahwasanya impor pakaian bekas atau lebih dikenal anak muda dengan sebutan thrifthing melalui peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 18 tahun 2021.
Terdapat Pasal dua (2) ayat tiga (3) tentang larangan ekspor dan impor barang bekas. Pasal dalam peraturan tersebut menyebutkan berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas merupakan contoh barang yang dilarang impor.
Namun walaupun peraturan larangan ini hampir berjalan empat (4) tahun, dapat kita lihat sendiri dengan kondisi dilapangan sepertinya peraturan Menteri Perdangangan tentang pelarangan impor pakain bekas ini tidak berjalan semestinya dengan apa yang diharapkan.
Memang sudah dari awal dikeluarkan peraturan ini sudah banyak masyarakat yang tidak setuju terutama masyarakat yang menjadikan kegiatan ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dari pihak masyarakat yang juga suka dan sering menggunakan pakaian dari hasil thrifthing ini juga dengan tegas menolak peraturan ini karena dengan berbagi alasan seperti mendapatkan pakaian branded dengan harga lebih murah.
Selain itu, penjualan pakaian bekas ini makin berjamur karena penjual memiliki keuntungan yang begitu besar dari hasil penjualan pakaian bekas, ditambah dengan gaya anak muda zaman sekarang lebih menyukai pakaian-pakaian branded dengan harga yang relatif murah.
Sampai sekarang ini kegiatan thrifthing semakin marak dan menjamur pada daerah-daerah di Indonesia. Bahkan saat ini para pelaku usaha thrifthing sudah melebarkan sayap usaha mereka dengan menggunakan teknologi.
Seperti sudah banyak pelaku usaha-usaha thrifthing bejualan di media sosial yang membuatkan keuntungan merekan menjadi dua kali lipat dari keuntungan berjualan ditoko secara langsung.
Tidak susah untuk mencari keberadan mereka di media sosial saat ini karena umumnya mereka hampir menggunakan media sosial yang ada seperti media sosial Tiktok, Instagram dan Facebook dengan hanya menuliskan kata kunci thrifthing dikolom pencaharian masing-masing media tersebut maka akan secara langsung muncul postingan-postingan yang berkaitan dengan thrifthing tadi.
Kita dengan mudah menemukan para pelaku yang menggunakan media sosial tersebut berjualan secara langsung dengan live streaming sehingga kita dapat melakukan tawar menawar secara langsung hingga deal harga yang disepakati.
Bagaimana masyarakat tidak tergiur dengan pakaian bekas yang dijual dengan hanya menuliskan serba 30 ribu. Bahkan ada pakaian lebih murah seperti kaos hanya 10 ribu sudah mendapatkan baju yang masih bagus dan bahanya tidak kalah dari toko-toko yang memang menjual baju.
Bahkan jika pembeli berutung mereka bisa mendapatkan barang-barang brand terkenal seperti nike, adidas, the north face (TNF) dan barang branded yang terkenal lainnya. Barang tersebut kemudian dapat mereka jual kembali dengan harga relatif tinggi bahkan bisa mencapai harga jutaan.
Hal inilah yang terjadi di Kota Tanjungpinang Ibu Kota Provinsi Kepri sama dengan beberapa kota di Indonesia lainnya, menjamurnya usaha pakaian bekas atau thrifthing ini sangat mudah ditemui di Kota Tanjungpinang.
Hampir di setiap sudut Kota penduduknya lebih ramai terdapat toko-toko yang berjualan pakaian bekas ini seperti di daerah Ganet, Batu 10, Sei Jang dan beberapa tempat lainnya. Namun yang membedakan usaha thrifthing di Kota Tanjungpinang dengan Kota lain dapat dilihat dari tempat berjualan pedagang.
Umumnya beberapa kota di Indonesia para pedagang berkumpul menjadi pada satu tempat yang besar untuk berjualan. Sedangkan di Kota Tanjungpinang sedikit unik, yaitu pelaku usaha pakaian bekas ini menyewa kios-kios atau ruko-ruko untuk dijadikan tempat mereka berjualan.
Sehingga jika kita perhatikan perhatikan dengan seksama usaha mereka terlihat seperti toko-toko jualan baju biasanya.
Seharusnya ada pengawasan lanjut dari peraturan ini, sebenarnya dengan maraknya penjualan bekas ini juga akan berdampak besar kepada toko-toko yang memang berjualan pakaian.
Menjamurnya usaha barang bekas dapat mematikan usaha pedagang di toko-toko yang memang berjualan baju baru secara perlahan. Karena masyarakat akan lebih mengutamakan mencari barang dengan harga murah, walaupun mereka membeli pakaian bekas, namun mereka mendapatkan pakaian branded.
Selain itu, produk pakaian buatan lokal juga akan mengalami imbasnya karena masyarakat pasti lebih mengutamakan barang branded dan kualitas yang bagus dengan harga relatif murah dari pada membeli produk lokal dengan brand belum terlalu terkenal.
Selain itu, sebernanya kebersihan dari pakaian bekas ini juga perlu ditanyakan karena yang kita ketahui bersama barang-barang bekas ini merupakan sampah di negara-negara luar kemudian dijual negara kita.
Masyarakat belum mengetahui pakaian tersebut apakah sebelum dipakai terdapat bakteri penyakit yang dapat terjangkit ke mereka. Karena pada umumnya pakaian yang di jualan di ruko-ruko tersebut belum dicuci terlebihdahulu, sehingga dapat dikatakan pakian tersebut dalam keadaan kotor.
Pakaian bekas ini juga dapat membuat sampah Kota menjadi lebih banyak karena hampir sepuluh persen ketika pedagang membuka bal, terdapat pakian yang tidak layak dijual kembali dan di buang sembarangan.
Hal tersebut, berarti sama saja kita mengimpor sampah untuk Negara kita. Perlunya Peran Pemerintahan Daerah dalam larangan menjual pakaian bekas impor ini. Keikutsertaan Pemerintah Daerah Kota Tanjungpinang hal ini dapat lebih membantu Pemerintahan Pusat karena tentunya Pemda lebih paham kondisi daerah.
Pemerintahan Daerah harus lebih tegas untuk menghentikan penjualan pakaian bekas impor ini. Karena jika Pemerintah Daerah tidak berani tegas di tambah posisi Tanjungpinang yang strategis dan berdekatan dengan Negara Singapura pengekspor akan membuat masalah perkotaan cukup kompleks.
Tidak menutup kemungkinan para pedagang yang berjualan di took-toko dengan pakaianproduk lokal usahanya bakalan mati apabila pelaku usaha pakaian bekas ini makin berjamur Kota Tanjungpinang.
(Penulis: La Ode Aziz Naim dan Jepri Jaya, Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji, Program Studi Ilmu Pemerintahan, Tugas Mata Kuliah Ekonomi Politik)