7 Kali memaksakan video call dua kali terangkat memaksakan harus lihat muka, disaat Jenly lagi bersama istri di kamar hingga terjadi perkelahian besar.
KEPRINEWS – Berawal dari seseorang yang mengaku sebagai Pimpinan Redaksi (Pimred) harianmetropolitan.co.id Rianto Sianipar menghubungi Jenly Lengkong lewat via seluler Kamis Malam (10/07/2020). Dikatakan Jenly, awal ia menelepon via Whatsapp dilayani, tiba-tiba langsung dengan gaya bahasa yang sombong mengatakan mau liat muka mu, ia mau video call.
Dikarenakan Jenly saat itu berada di kamar bersama dengan istrinya, Rianto Sianipar terus memaksakan kehendak untuk video call. Sampai 7 kali berturut-turut walaupun direject terus di video call. Ada 2 video call-nya diangkat, dengan cara yang tidak baik Rianto mengatakan mana mukanya, ditutup langsung video call tersebut sambil Jenly teriakan makian, sebabnya lagi di dalam kamar berdua dengan istri. Masih juga diulangi lagi melakukan video call beberapa kali, tanpa etika bertanya dimana dan bisa video call.
Dalam hal ini, dituding Rianto Sianipar Pimred metropolitan.co.id melakukan perbuatan tidak menyenangkan melakukan memaksakan kehendak untuk melihat lawan penelepon-nya yang pada saat itu berada di kamar bersama istri sehingga menyebahkan terjadi perkelahian. Dan akan kami pertanya kepada Penguji UKW yang telah meloloskan wartawan tidak beretika.
Katanya, akan juga melaporkan ke dewan pers via internet seputar tata cara seorang yang mengaku Pimred yang melakukan konfirmasi dan membuat objek pemberitaan itu merasa diperlakukan yang tidak baik sesuai KUHP Pasal 335 ayat (1) ke-1 tentang perbuatan tidak menyenangkan.
Perlakuan Rianto didengar oleh keluarga istrinya dan anaknya yang baru tamat SMK, serta terdengar oleh rekan-rekan jenly pada saat itu. Untung saja yang bersangkutan berada di luar Tanjungpinang. Saat itu juga, rekan Jenly langsung menghunginya (Rianto) mempertanyakan perlakuan dia yang tidak sopan.
“Ini orang katanya pimpinan redaksi, namun dari awal menelepon, tidak mengambarkan seorang jurnalistik yang mengedepankan inteletual serta etika berkomunikasi, tapi terkesan menonjolkan gaya premanisme. Awal menghubungi saya, tanpa video, saya menjawab. Walaupun tidak diberikannya waktu saya bicara, karena ia bertanya ia sendiri yang menjawab. Luar biasanya lagi wawancaranya itu bukan lah menunjukan seorang jurnalistik. Ingat wartawan itu hanya seorang penulis, bukan jaksa atau polisi bahkan hakim. Dari caranya itu bukan mengambarkan seorang penulis, tapi seperti penyidik,” terangnya.
Menanggapi pemberitaannya metropolitan.co.id yang berjudul “@Jenly Lengkong, Gunakan Data Audit BPK, Untuk Ujaran Kebencian?, dinilai tudingan yang menampakan kebodohan. “Judulnya saja tidak nyambung, entah dari mana kata ujaran kebencian yang disondingkan dengan data BPK,” selorohnya.
Ujaran kebencian (hate speech) ketika tindakan komunikasi yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok itu merupakan provokasi, hasutan, ataupun hinaan dari aspek ras, warna kulit, etnis, gender, cacat.
Ujaran Kebencian UU ITE dalam Perspektif KUHP, seperti yang dikatakan Direktur Program ICJR Erasmus Napitupulu, kunci utama dari ujaran kebencian sebagaimana dimaksudkan dalam UU ITE mengacu pada Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ketika menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Golongan dalam hal ini dimaksudkan seluruh rakyat Indonesia dilihat dari ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Klarifikasi Berita harianmetropolitan.co.id Yang Justru Mencemarkan Nama Baik
Berita yang menyebutkan menggunakan data BPK untuk ujaran kebencian, disebutkan juga bawah postingan ini tentu membuat perusahaan media harianmetropolitan.co.id tercemarkan. Juga dibilang tindakan itu jelas merupakan “pencemaran” nama baik, karna perusahaan tidak pernah dirugikan oleh DPRD Natuna maupun Humas Setda Natuna.
Dari pernyataan diatas ucap Jenly, ini persepsi anak SD yang baru berkembang, tercemarnya dari mana, ujaran kebencian berdasarkan apa, menggunakan data BPK untuk ujaran kebencian itu dilihat dari mana. “Walaupun argumentasi dan pendapatnya itu prematur, berlebihan dan memaksakan kehendak yang dikemas dengan kalimat. Tapi saya akan jawab dengan baik dan benar,” pungkasnya.
Berawal dari temuan/laporan hasil audit BPK, yang memaparkan sejumlah kasus penyalagunaan anggaran, dari temuan ini salah satunya didapati jumlah nilai anggaran dari kerja sama media dengan nilai bervariasi, juga terdapat pembayaran pada media yang belum terverifikasi dan lainnya. Pada dasarnya temuan BPK itu adalah sah dan diakui negara, berdasarkan peraturan BPK RI Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
Karena hasil temuan BPK ini terbuka untuk informasi publik yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, karena itu, Jenly mengambil hasil temuan yang menyebutkan jumlah nilai anggaran yang menjadi kesepakatan kerja sama antara media dan pemerintah. Dalam hal ini, terdapat nilai yang dibayarkan jenis publikasi.
“Ketika melihat jumlah dana dan fakta pencairan yang sampai ke Redaksi Kepri News itu sangat jauh nilainya, kembali saya melakukan kroscek ke biro Kepri News di Natuna. Hasil laporan dari kepala biro, bahwa ia juga kaget melihat angka yang tertulis. Dengan hasil laporan yang didapati, secara pribadi terpikir, kalau hal ini bisa terjadi ke kami, tidak menutup kemungkinan bisa juga ke orang lain,” pungkasnya.
Diperkuat dengan aturan yang ada website BPK mengenai publikasi LHP sebagai wujud pelaksanaan UU keterbukaan informasi publik, yang diuraikan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik disusun dengan tujuan, antara lain untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik, meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik, serta mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.
Jadi informasi yang diperoleh dari auditor pemeriksa keuangan tidak membatasi semua hasil laporannya, malahan membuka infoormasi tersebut (tidak ada yang ditutup-tutupi) oleh semua masyarakat agar bisa ikut memantau melihat ketika ada yang tidak sesuai.
“Karena diperbolehkan oleh UU keterbukaan informasi, jadi salah satu bagian informasi yang merugikan saya juga ada beberapa teman yang tak perlu disebutkan, merasa terjadi indikasi penggelapan uang perusahaan. Mengambil data informasi ini, itu hak kita yang dijamin oleh UU keterbukaan informasi,” tuturnya.
Indikasi penggelapan yang terjadi sangat merugikan perusahaan media yang menggunakan PT dalam hal ini Kepri News. Diketahui merupakan hak kita untuk bicara di Medsos dengan acuan temuan BPK yang bukan temuan sendiri, dan mengungkapkan kejadian yang fakta. Tanpa melihat makna konsep tulisan, Rianto langsung ujaran kebencian. Apakah tidak terbalik?
Singkat Jenly, sebelum menulis disarankan Rianto Sianipar harus melihat esensi tulisan dan tau makna atau arti tulisan tersebut yang ditentukan pada pengertian, konsep, gagasan, ide, dan maksud yang diwujudkan dalam bentuk ungkapan.
Lanjutnya, dikatakan pencemaran nama baik, itu dari sudut pandang yang mana? dalam tulisan yang diungkapkan jelas tidak ada menyebutkan nama media, bahkan Rianto berpendapat sendiri bahwa perusahaanya tidak pernah dirugikan oleh Humas dan Sekwan Natuna. Dalam hal ini, siapakah yang pernah menyebutkan nama perusahaannya atau membicarakannya. Kalau hanya karena data BPK yang terlampir itu kata Jenly harus masuk SMP lagi.
Sangat jelas berbeda. Temuan itu sebatas data yang memperlihatkan nilai anggaran pada media yang terlampir dalam hasil Audit BPK. Sementara, ungkapan kalimat yang ditungkan dalam Facebook itu merupakan pendekatan konseptual mulai dari gagasan, ide, konsep dan pengertian yang melekat secara inheren pada sebuah satuan bahasa yang menceritakan apa yang dialami.
Singkat cerita, disebutkan jenli dari uraian cerita di Medsos dilihat pendekatan konseptual yang bermakna dirugikan, ditipu ini yang terjabar dalam sebuah satuan bahasa, terlepas dari itu, berbeda dari makna data BPK dari konsepnya dan linguistik. Makna sebuah kata sebenarnya sangat ditentukan oleh konteksnya ketika kata tersebut digunakan menceritakan kejadian dan apa yang dialaminya. Berbeda dengan makna data, itu harus digaris bawahi.
“Jadi seorang jurnalistik ditentukan oleh kualitas etikanya, bukan kualitas arogansinya. Kalau mau berargumentasi atau berpendapat itu jangan yang dipaksakan, prematur tapi yang sesuai. Kalau sudah malam, apa lagi orang yang akan dihubungi sudah bekeluarga, sebelum video call harus tanya dulu, jangan menjadi batu sandungan untuk hubungan keluarga. Perbuatan Rianto menciptakan perkelahian dengan istri. Untuk itu saya harus berjumpa kamu yang harus bertanggungjawan atas kejadi ini baik itu dalam bentuk hukum atau lainnya,” tutupnya. (Ris/Tim)