
KEPRINEWS – Sejak pemerintahan Presiden SBY diganti Jokowi hingga masuk ke pemerintahan Prabowo, proyek pembangunan pelabuhan peti kemas berskala internasional, di Desa Pongkar, Kecamatan Tebing, Karimun tidak selesai.
Awal dibangunnya pelabuhan Malarko untuk dijadikan pelabuhan utama peti kemas dan roll-on roll-off (RoRo), termasuk pelabuhan sandar kapal pesiar. Pembangunan ini juga menjadi pendukung penetapan Karimun sebagai Kawasan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Lokasi pelabuhan ini sangat strategis tepat berada di jalur perdagangan selat Malaka, menghadap langsung di jalur lalu lintas internasional. Proyek multiyear ini sudah menyerap dana Rp200 miliar lebih.
Ketua Lembaga Pemantau Kinerja Pemerintah (LPKP) Mhd Hasin, kepada keprinews.co, Rabu (5/2), menuturkan, pembangunan pelabuhan Malarko, dibangun sejak tahun 2008 oleh Kementerian Perbuhungan (Kemenhub) melalui Satker Pembangunan Faspel Laut Pulau Terluar Kepri.
Dikatakan Hasin, bahwa pembangunan pelabuhan disepakati dibangun dengan sistem sharing. Di mana, pembangunan sisi laut bersumber ari APBN dan darat dibangun bersumber dari APBD.
Diawali dengan pembangunan fasilitas pelabuhan Laut Malarko tahap I, pagu anggaran Rp27,105 miliar. Konsultan pengawas dianggarkan Rp695 juta, bersumber.
Selanjutnya, masuk tahap II, pada tanggal 2 Juni 2009, dianggarkan Rp476.465.009 untuk supervisi pembangunan fasilitas pelabuhan laut Malarko. Selanjutnya, dianggarkan untuk jasa konsultansi supervisi lanjutan Rp450 juta.
Di tahun anggaran (TA) 2010, Satker Pembangunan Faspel Laut Pulau Terluar Kepri melakukan tender pengadaan jasa borongan sebesar Rp19,5 miliar.
Tanggal 14 Maret 2011, dilakukan tender pengadaan barang dan jasa konstruksi bidang sipil, sub bidang dermaga dan perawatan bernilai Rp33.040.825.000. Dikucurkan kembali anggaran Rp716 juta, untuk layanan jasa engineering fase konstruksi dan instalasi pekerjaan teknik sipil dianggarkan.
Pada 7 Maret 2012 digelontorkan anggaran untuk jasa konsultansi supervisi lanjutan pembangunan Faspel Laut Malarko Rp850.000.000. Tanggal 9 Maret 2012, dilanjutan pekerjaan pembangunan talud bernilai Rp49.142.500.000. Dari anggaran ratusan miliar yang dihabiskan, baru terbangun causeway sepanjang 800×6 meter persegi dan dermaga sepanjang 110×10 meter persegi.
“Belum lagi anggaran lainnya yang tidak dirincikan, karena saya belum tahu persis. Dibangun dari tahun 2008 hingga 2012, terhenti sampai saat ini. Uang negara ratusan miliar rupiah jadi mubazir. Ini lah hasil kerja kementerian lewat Satker-nya di Kepri, makanya kami kurang yakin kalau proyek mereka yang kerjakan,” tuturnya.
Ia berpendapat, untuk mengurangi uang negara tidak terbuang begitu saja, dan proyek dapat selesai tepat Waktu, kualitasnya terjamin, dikelola pemerintah daerah dan tidak perlu lagi ada Satker. Untuk apa ada pemerintah provinsi, kota/kabupaten, kalau dari pusat dalam hal ini kementerian juga yang Kelola. Hasilnya seperti pelabuhan Malarko, belasan tahun terbengkalai.
Janji Muluk Menhub Tak Sesuai Fakta
Janji mantan Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi (di saat menjabat tahun 2020-red) saat meninjau pembangunan pelabuhan Malarko, Sabtu (1/2/2020), mengatakan, dirinya diamanatkan presiden untuk melanjutkan pembangunan infrastruktur di daerah terluar, terpencil, tertinggal dan perbatasan (3TP), untuk meningkatkan konektivitas antar wilayah di Indonesia.
Budi Karya sebut, Pelabuhan Malarko akan dijadikan pelabuhan samudera atau pelabuhan yang dapat disinggahi kapal-kapal besar, memiliki fasilitas lengkap, tempat bongkar muat barang ekspor dan impor, dan dilengkapi gudang.
“Pelabuhan ini akan selesai dan diresmikan pada akhir 2021. Saya akan undang Bapak Presiden untuk meresmikannya nanti,” tuturnya.
Aktivis Mahasiswa Karimun, Dedi, yang saat ini masih berkuliah di Tanjungpinang, menambahkan, proyek pelabuhan tersebut ikut membuat keuangan Pemkab Karimun tak bermanfaat. Pasalnya, pembangunan di bagian daratnya dibebankan dari APBD Karimun.
“Dari tahun ke tahun terbia dan tak terurus. Akhirnya kondisi pelabuhan Malarko terlihat sudah banyak kerusakan. Kami minta pihak penegak hukum mengusut proyek gagal yang sudah terbiar belasan tahun yang habiskan Rp200 miliar. Secara tak langsung negara sudah dirugikan, karena pembangunan yang tidak terawat akan bertambah rusak, di saat mau dilanjutkan akan memakan biaya lebih besar lagi,” pungkasnya. (tim)