KEPRINEWS – Keberadaan platform media sosial memunculkan fenomena baru, yaitu entitas perusahaan atau organisasi yang melakukan praktik jurnalistik namun tidak terdaftar sebagai perusahaan media.
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria, menyoroti keberadaan homeless media itu dan mengaitkannya dengan profesionalisme pers di Indonesia.
“Jadi homeless media ketika ada persoalan menyangkut informasi yang dimuat dan dilaporkan oleh masyarakat, lalu dilaporkan ke polisi, homeless media ini kemudian menuntut dilindungi lewat Undang-Undang Pers,” ungkapnya dalam Diskusi Publik: Keamanan Jurnalis, Tanggung jawab Siapa?, yang berlangsung secara hibrida dari Hotel Morissey, Jakarta Pusat, Senin (07/08/2023).
Menurut Wamenkominfo terdapat perbedaan cukup mencolok antara media mainstream yang dilindungi Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan media yang bergerak di sosial media.
“Ada beda dalam cara ungkap, kepatutan dan etika yang diatur oleh Kode Etik Jurnalistik. Kita lihat terjadi sekarang begitu banyak di media sosial, para seleb-seleb media sosial jadi rujukan untuk informasi publik. Kalau anda seorang selebriti, anda bisa ngulas soal politik, ekonomi, budaya segala macam dengan cukup bebas gitu,” jelasnya.
Wamen Nezar Patria mengakui tidak mudah berhadapan dengan disrupsi akibat teknologi maupun kultur masyarakat yang sudah mulai berubah. Namun demikian, menurut Wamenkominfo aspek profesionalisme harus menjadi tolak ukur yang utama.
“Yang paling penting adalah bagaimana satu aturan yang bisa merespons perkembangan-perkembangan terbaru di ranah media sosial,” tandasnya.
Dalam diskusi hasil kerja sama AJI, USAID dan Internews itu hadir Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Mufti Makarim; Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Chadidjah Salampessy; Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Arif Zulkifli; serta Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin. (*)