KEPRINEWS – Pelaku usaha penambang galian C tanpa izin, pada hakikatnya telah memenuhi unsur yang dapat diancam dengan hukum pidana. Kegiatan pertambangan tanpa memiliki izin adalah ilegal atau perbuatan melawan hukum. Wajib dipidana bila melakukan kegiatan penambangan tanpa izin.
Ketentuan undang-undang yang berlaku bagi perusahaan/pengusaha tambang tanpa izin, adalah diproses dan di hukum sesuai aturan. Ini diinstruksikan UU Nomor 4 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam pasal 158. Setiap orang yang melakukan usaha pertambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam pasal 37, pasal 40 ayat (3) pasal 48, pasal 67, pasdal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama penjara 10 tahun dan denda RP10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah).
Hal ini dikatakkan oleh Wakil Ketua Ikatan Peduli Lingkungan Hidup (IPLH), Ressy (32) kepada KepriNewsa.co via seluler Rabu (06/05/2020). Lanjutnya, UU Dasar Negara Republik Indonesia pada Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal tersebut memiliki makna bahwa Negara memiliki kedaulatan mutlak atas kekayaan sumber daya alam dan hak kepemilikan yang sah atas kekayaan alam adalah rakyat Indonesia. Artinya semua kegiatan dalam hal ini pertambangan galian C, wajib menyelesaikan prosedur usaha yaitu izin tambang.
“Kalau perusahaan melakukan kegiatan tanpa izin, ini maling namanya. Jelas merupakan perbuatan melawan hukum. Jangan dibiarkan dong kalau ada perusahaan maling. Jelas galian C itu merusak lingkungan, pepohonan, dan lainnya yang kesemuanya itu merugikan masyarakat dan negara. Dampak dari pertambangan itu fatal. Akibat buruk yang bisa terjadi, itu jelas,” tuturnya.
Dikatakan Ressy, perizinan merupakan salah satu instrumen administratif yang digunakan sebagai sarana di bidang pencegahan dan pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Izin merupakan instrumen hukum administrasi yang dapat digunakan oleh pejabat pemerintah yang berwenang untuk mengatur cara-cara pengusaha menjalankan usahanya.
Dimana, perizinan memiliki fungsi preventif sebagai instrumen mencegah terjadinya masalah-masalah akibat kegiatan tambang. Dari perspektif penegakan hukum administrasi, penyatuan kewenangan pemberi izin lingkungan kepada satu institusi saja akan berpengaruh positif karena akan lebih menjamin konsistensi dalam penegakan hukum guna mewujudkan pembangan berkelanjutan atau kegiatan usaha yang bewawasan lingkungan.
Semua pihak yang berkompeten dalam melakukan penegakan hukum untuk usaha tambang ilegal harus nyata, proaktif, tidak pandang bulu. Kalau hukum tidak ada tindakan kepada perusahaan maling, ini akan menjadi contoh bagi perusahaan yang lain untuk wajib izin. Agar tidak dibilang maju tak gentar membelah yang bayar, hukum harus nyata di mata masyarakat.
“Aparat hukum yang digaji negara dalam hal ini bukan hanya sampai mengumandangkan wajib izin tapi tindakan hukum untuk pelanggarannya itu sepaket. Ini lingkungan hidup bukan boneka mati yang dibiarkan, dimana pohon, populasi makhluk hidup, dan lainnya pasti ikut rusak, hancur bila dilakukan kegiatan tambang. Dan hal ini sangat dan harus berizin, untuk mengantisipasi dampak, kerusakan lingkungan. Kami mohon mulai dari Polres Natuna dan jajaran lainnya dapat menegakan aturan hukum bagi yang melanggarnya,” tutupnya (TIM/Ilham)