
KEPRINEWS – Diketahui, pencairan sejumlah tunjangan anggota dan pimpinan DPRD Tanjungpinang tahun 2022 tidak bisa dilakukan proses pencairan, sebab proses Peraturan Walikota (Perwako) Tanjungpinang untuk hak keuangan dan administrasif anggota dan pimpinan DPRD tahun 2022 belum ditetapkan dan perudangan sesuai ketentuan UU.
Pasalnya, pertanggungjawaban secara hukum dan administrasi selama 3 tahun sebelumnya mulai dari tahun 2019 sampai 2021 masih menunggu jawaban dari Kemendagri, soalnya berbicara keuangan yang bersumber dari APBD itu harus dipertanggungjawabkan penggunaannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku secara jelas dan benar.
Membuktikan 3 tahun realisasi hak keuangan dan administrasif anggota dan pimpinan DPRD terindikasi melanggar aturan, tidak berdasarkan kepatuhan, ketentuan yang diinstruksikan PP dan Permendagri dalam tata kelola keuangan daerah, dibenarkan oleh Kabag Hukum Setdako Tanjungpinang, LA, dari referensi dan dokumentasi tercatat. Di tahun 2019 hingga 2021 tentang hak keuangan DPRD Tanjungpinang tidak memiliki Perwako. Perwako nomor 21 tahun 2018, itu adalah peraturan walikota yang terkahir.
Beberapa pejabat Pemko Tanjungpinang, yang pernah terlibat dan mengetahui hal ini (engan namanya diekspos-red), kepada KepriNews.co, baru-baru ini menyebutkan, tunjangan DPRD selama 3 tahun tanpa Perwako, maka terindikasi penyalahgunaan anggaran, berpotensi besar kerugian negara dan tindak pidana korupsi.
Mutlak dalam penentuan tindak pidana korupsi ketika pembayaran tidak disa dibuktikan dan dipertanggungjawabkan secara material dan secara aturan yang berlaku berdasarkan prosedur hukum secara benar, jelas dan terukur.
Kenapa disebut ada dugaan melegalkan tindak pidana korupsi anggaran tunjangan DPRD sepanjang 3 Tahun dengan berdalih pada Perwako tahun 2018? Dimana setiap ketentuan mengenai besaran tunjangan mempedomani kemampuan keuangan daerah dengan mempertimbangkan prinsip efisiensi, efektifitas
dan kepatutan, berdasarkan ketentuan standar satuan harga (SSH) yang diatur dalam Perwako pada tahun anggaran berkenaan.
Dijelaskannya, 4 jenis tunjangan yang diterima DPRD Tanjungpinang selama 3 tahun yang diduga langgar aturan, seperti:
- Tunjangan Komunikasi Intensif yang diberikan kepada pimpinan DPRD dan anggota DPRD setiap bulan dalam rangka mendorong peningkatan kinerja pimpinan dan anggota DPRD. Besaran yang diterima per-anggota sebesar Rp10.5 juta.
- Tunjangan Reses yang berikan kepada pimpinan DPRD dan anggota DPRD setiap melakukan reses, per-orang menerima sebesar Rp3,5 juta.
- Tunjangan Perumahan yang diterima setiap anggota dewan sebesar Rp6,5 juta.
- Tunjangan Transportasi berupa uang transport yang diberikan kepada pimpinan DPRD dan anggota DPRD setiap bulannya per-orang bernilai Rp12,8 juta.
“Jumlah nilai tunjangan dikalikan jumlah DPRD, dikalikan 12 bulan dan dikalikan 3 tahun. Jumlah itu yang diduga kuat merupakan pencairan bodong secara bersama-sama tanpa memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara jelas, benar,” tuturnya.
Perhitungan tunjangan sesuai kemampuan keuangan daerah. Arti kemampuan keuangan daerah ditentukan berdasarkan hasil perhitungan atas besaran pendapatan umum daerah dikurangi belanja Pegawai dan dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah.
Berdasarkan kemampuan keuangan daerah diatur dalam peraturan walikota sebagai petunjuk teknis pemberian tunjagan, mempertimbangkan prinsip efisiensi, efektifitas dan kepatutan, sesuai ketentuan standar satuan harga (SSH). Termasuk pembayaran tenaga ahli fraksi, 1 orang untuk setiap fraksi diberikan kompensasi dengan memperhatikan standar keahlian, prinsip efisiensi, sesuai dengan kemampuan keuangan daerah yang dijabarkan dalam Perwako.

Hal senada ditambahakan oleh salah satu anggota LPKP Lanny kepada KepriNews.co, Jumat (25/02/2022), dikatakannya, bahwa penyusunan standar satuan harga (SSH) dilakukan pada tahun anggaran sebelumnya. Contonya untuk SSH tahun 2022 proses penyusunannya diakhir tahun 2021. Ini adalah aturan yang tidak bisa ditawar menawar atau pengecualian bagi daerah yang tidak melakukan peraturan hingga dibolehkan gunakan Perda dan Perwako APBD serta standar satuan harga yang lama? Itu pelanggaran murni.
Dijelaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang pengelolaan keuangan daerah, Pasal 51 Ayat 1, belanja daerah berpedoman pada standar harga satuan regional, analisis standar belanja, atau standar teknis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 51 Ayat 5, analisis standar belanja, standar teknis dan standar harga satuan ditetapkan dengan peraturan kepala daerah tiap 1 tahun anggaran.
Pasal 51 Ayat 6, analisis standar belanja, standar harga satuan, standar teknis digunakan untuk menyusun rencana kerja dan anggaran dalam penyusunan rancangan Perda tentang APBD dan dijabarkan dalam peraturan kepala daerah.
Permendagri nomor 21, disebutkan pedoman penyusunan RKA-SKPD sebagai lampiran, meliputi, KUA-PPAS, Kode Rekening APBD, Format RKA-SKPD, Analisis Standar Belanja dan SSH ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.
Mengingat pentingnya SSH sebagai pedoman penyusunan RKA-SKPD, maka dipandang perlu untuk melakukan reviu terhadap dokumen SSH yang dilakukan terhadap keseluruhan tahapan penyusunan mulai dari penetapan kerangka acuan kerja (KAK) sampai dengan penerbitan buku SSH dalam bentuk SK walikota, dilakukan diakhir tahun untuk realisasi pada tahun anggaran yang baru.
Ini proses hukum yang tidak bisa diplintirkan untuk membenarkan suatu kesalahan dalam realisasi anggaran. Ketentuan hukum yang berlaku untuk penjabaran APBD pada tahun anggaran berkenaan sangat jelas prosedur. Di luar dari petunjuk UU yang dimaksudkan, itu merupakan indikasi melawan hukum.
“Jadi jelas SSH yang digunakan salah satu pedoman pembayaran disejumlah jenis tunjangan DPRD tertuang dalam Perwako berdasarkan tahun anggaran berkenaan, bukan pada Perwako 2018 yang mempedomani SSH di tahun 2018. Tidak ada aturan hukum yang membenarkan hal tersebut, karena sangat jelas instruksi peraturan untuk rencana, tahapan, penyusunan dan penetapannya. Ini mengambarkan indikasi melegalkan perbuatan melawan hukum secara beramai-ramai mencairakan tunjangan puluhan miliar rupiah, secara bodong tanpa dasar hukum,” jelasnya.
Penyusunan dokumen SSH per-tahun anggaran sesuai tahapan-tahapan yang ditentukan untuk memberikan keyakinan terbatas mengenai akurasi, keandalan, dan keabsahan data harga yang disajikan dalam dokumen SSH.
Bagaimana konsekuensi hukum, sanksi pencairan tunjangan dewan selama 3 tahun tanpa petunjuk dan dasar hukum yang diamanatkan? Kalau hal itu dilegalkan, artinya tidak perlu ada revisi, pembaharuan, penetapan, perundangan per-tahun anggaran berkenaan sebagaimana diamantkan aturan PP dan Permendagri.
“Kami minta aparat penegak hukum respon cepat atas dugaan tindak pidana korupsi sepanjang 3 tahun ini. Kami akan segera membuat laporan resmi ke Kejati Kepri dan ditembuskan ke KPK pelaksanaan tata kelola keuangan tunjangan DPRD selama 3 tahun yang tidak mempedomani aturan secara benar,” ucapnya.
Penjelasan DPRD Tanjungpinang yang dijelaskan lewat hak jawab kemarin, bahwa terkait Tunjangan Pimpinan dan Anggota DPRD Kota Tanjungpinang, telah diatur dalam PP Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD. Selanjutnya aturan tersebut telah jabarkan kembali kedalam Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 8 Tahun 2017 Tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD.
Adapun terkait Peraturan Walikota Tanjungpinang yang dimaksud dalam isi pemberitaan, bahwa selama ini pedoman pembayaran Tunjangan Pimpinan dan Anggota DPRD Kota Tanjungpinang didasarkan Peraturan Walikota Tanjungpinang Nomor 21 Tahun 2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan Anggota DPRD Tanjungpinang yang hingga saat ini masih berlaku dan belum dinyatakan dicabut atau diganti. Sehingga kedudukan hukum Peraturan Walikota Tanjungpinang tersebut masih dapat dipergunakan selama belum dicabut ataupun diganti. (TIM)