KEPRINEWS – Direktur Utama (Dirut) BUMD Tanjungpinang, Windrasto Dwi Guntoro mengungkapkan bahwa PT Tanjungpinang Makmur Bersama (TMB) banyak mengalami kerugian.
Hal itu disampaikannya berdasarkan hasil audit yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) beberapa waktu lalu. Dari hasil audit KAP tersebut, kerugian yang dialami BUMD Tanjungpinang pada tahun 2022 sebesar Rp2,2 miliar, tanpa kejelasan.
“Hasil ini kita akan expose ke BPK. karena setiap audit dari KAP, laporannya juga diketahui oleh BPK,” kata Guntoro, Selasa (12/9/2023) kepada awak media.
Menurut Guntoro, kerugian sebesar Rp2,2 miliar ini, semua pengeluaran harus dipertanggungjawabkan oleh direksi yang lama semasa jabatannya. Seperti, memberi kejelasan uangnya untuk apa.
“Jika BPK sudah menanyakan, kan bisa dipanggil kenapa bisa rugi terus. Nanti mereka akan meminta kejelasan kondisi keuangan yang terjadi selama ini,” jelasnya.
Guntoro juga mengungkapkan, bahwa kerugian milyaran ini disebabkan ada operasional yang kemungkinan tidak tepat sasaran. Seperti, membeli 34 meja lapak ikan di blok B pasar baru dengan menggunakan dana dari BUMD, dan itu terjadi dimasa kepemimpinan Dirut PT.TMB sebelumnya pada bulan April 2022 silam.
Menariknya, kala itu iuran meja ini tidak dipungut selama satu setengah tahun oleh pihak BUMD. Melainkan, hanya dipungut oleh orang lain.
“Padahal itu kepemilikan dari BUMD, tapi kenapa dipungut oleh oranglain bukan dari BUMD sendiri. Maka itu saya tidak akan melakukan pembiaran,” tegasnya.
Guntoro pun membeberkan, besaran yang dipungut dari orang (bukan dari BUMD) terhadap 34 lapak atau meja ikan itu dapat mencapai Rp800 ribu hingga Rp1,2 juta per meja, Bahkan mereka memiliki kwintasi sendiri.
“Aset kita kenapa oranglain yang pungut, itu namanya preman pasar. Harusnya penegak hukum juga bisa memonitor apakah ada kerjasama dengan oknum, kita juga tidak tahu nih,” tuturnya.
Menurutnya, kerugian tak hanya terjadi pada tahun 2022 saja. Melainkan, total keseluruhan kerugian yang dialami oleh BUMD Tanjungpinang hampir menginjak angka Rp6 miliar lebih dalam kurun waktu 3 tahun.
“Bahkan, gaji karyawan selama 7 bulan tidak dibayar, sekarang sudah kami cicil,” imbuhnya.
Kendati demikian, kata dia, yang dapat menentukan dilanjutkan atau tidaknya tergantung hasil audit dari BPK.
“Hasil audit dari KAP sudah keluar seminggu lalu, sementara BPK masih mencari temuan. Jadi tergantung dari BPK dan KAP apa mau dilanjutkan atau tidak,” tutupnya. (un)