Realisasi pencairan anggaran Bansos dan Hibah di akhir tahun 2020 yang dikelola secara tidak prosedural, cacat hukum yang artinya tidak memiliki kekuatan pembuktian dari SKPD teknis pada proses evaluasi dan verifikasi sebagai tata cara prosedur pencairan hibah sesuai instruksi UU, malahan diisi dengan indikasi penyimpangan yang disertai unsur-unsur tindak pidana pemalsuan?
KEPRINEWS – Dana Bansos dan Hibah akhir tahun 2020 terus menjadi sorotan tajam publik. Seperti pemberitaan KepriNews.co sebelumnya yang berjudul “Akhirnya Pemalsuan Tanda Tangan Sejumlah Proposal Fiktif Pemprov Kepri Terungkap” tanggapan publik ke redaksi lewat Medsos, via seluler, menyoroti dan mempertanyakan anggaran tersebut.
Dari sumber KepriNews.co salah satu pejabat di Pemprov Kepri (namanya dirahasiakan) yang memberikan surat pernyataan itu, jelaskannya bahwa pernyataan tersebut itu dipastikan benar, tidak ada istilah melibatkan nama orang lain. “Kalau nama saya dilibatkan atau dimunculkan dalam suatu surat pernyataan berkonspirasi melanggar larangan-larangan yang ada dalam ketentuan hukum, pasti reaksi saya tidak diam saja, atau minimalnya ada tindakan pembelaan,” jelasnya.
Diterangkannya, sesuai SOP penganggaran, pencairan dana hibah dalam hal ini, seperti yang dilangsir dari beberapa media online mengenai statement Inspektorat Kepri, disimpulkan pencairannya sudah sesuai prosedur, dimana suatu kesalahan fatal yang dibenarkan.
Dapat dikatakan terpenuhi tata cara prosedur yang benar, itu diukur dari 4 ketentuan mendasar (persyaratan mutlak-red) dalam realisasi Hibah. 4 hal ini yaitu, pertama calon penerima bantuan menyampaikan usulannya dalam bentuk proposal secara tertulis kepada kepala daerah melalui Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) atau SKPD sesuai arahan kepala daerah.
Kedua, kemudian BPKAD selaku PPKD meneruskan usulan tersebut kepada SKPD teknis untuk melaksanakan evaluasi dan verifikasi usulan proposal bantuan tersebut, berdasarkan petunjuk dan instruksi peraturan yang berlaku.
Ketiga, Kepala SKPD teknis menyampaikan hasil evaluasi berupa rekomendasi kepada kepala daerah melalui TAPD berdasarkan hasil evaluasi beberapa tahapan dan ketentuan.
Terkahir, setelah rancangan PPAS disahkan, TAPD mencantumkan anggaran berupa uang dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Pejabat Pengelola Keuangan Daerah(PPKD) yang menjadi dasar pada anggaran belanja hibah bersumber dari APBD.
Dalam hal ini Tim verifikasi usulan hibah dan Bansos adalah Tim yang dibentuk oleh Kepala SKPD yang diberi wewenang serta tanggungjawab untuk melakukan verifikasi usulan hibah. “Yang dikatakan Inspektorat sesuai prosedur yang mana. Ketika aliran dana hibah sudah prosedural, kenapa menyuruh salah satu anak PTT di BPKAD mendatangi rumah FNL untuk melakukan perlawanan terhadap hukum dengan memalsukan tanda tangan pejabat berkompeten yang peranannya sangat menentukan dalam penyelenggaraan dana hibah.
Mafia Hibah & Amunisi Pilkada?
Pada dasarnya penyaluran dana hibah diwajibkan terkelola secara tertib, taat peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomi, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas dan manfaat untuk masyarakat. Pada proses penyalurannya diwajibkan tertib administrasi, akuntabilitas, transparansi, artinya tidak ada yang ditutupi atau dijadikan bantuan rahasia.
“Coba tanya, dari dana Hibah yang dicairkan akhir 2020, siapa saja yang menerimanya, walaupun diproses berdasarkan pemalsuan atau tanda tangan fiktif. Dalam mekanisme kepemerintahan, apa lagi untuk pencairan anggaran, tidak dibenarkan manipulasi atau pemalsuan tanda tangan. Ini melawan hukum namanya. Tanda tangan merupakan autentifikasi memastikan kebenaran, jaminan kepastian, tanggung jawab jabatan, keabsahan, keutuhan dan keautentikan suatu dokumen. Tanda tangan merupakan bukti tertulis serta syarat subjektif perjanjian yang sah berdasarkan Pasal 1320 angka 1 KUHP,” pungkasnya.
Mekanisme manajemen kepemerintahan, apa lagi proses pencairan, tanda tangan pejabat itu merupakan jaminan dan bukti yang kuat dalam penyelenggaran kepemerintahan mewakili negara. Tanda tangan ini suatu menjamin kebenaran isi dari dokumen bahwa benar orang yang menandatangani perjanjian atau kontrak tersebut telah mengetahui dan menyetujui seluruh isinya. Tanda tangan di dalam perjanjian merupakan bukti adanya persetujuan atas perjanjian yang telah dibuat.
Lanjutnya, skenario pemalsuan tanda tangan pejabat lembaga pemerintah dapat dijerat dengan pasal 263 ayat (1) KUHP, dengan ancaman pidana maksimal enam tahun penjara. Jadi, status dana hibah akhir 2020 yang dilalui dengan dokumen-dokumen cacat hukum, artinya dokumen tersebut tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sah, dan dasar mencairkan hibah tersebut tidak berdasarkan rekomendasi dari SKPD teknis setelah dievaluasi dan diverifikasi. Itu yang dibilang sudah benar dan sesuai prosedur oleh Inspektorat?
“Harapan kami agar penegakan hukum oleh aparat pelaksana hukum di Kepri dapat mengungkapkan kasus ini, hingga publik bisa melihat kebenarannya realisasi dana Bansos dan Hibah disalurkan ke masyarakat sesuai peruntukan tepat sasaran atau diamunisikan. Walaupun saya tahu dana itu sebagian kemana, tapi itu bukan bagian saya, nanti dibilang fitnah, biarlah semuanya terungkap dari pihak yang berwenang,” harapannya.
Konfirmasil KepriNews.co beberapa hari lalu via ponsel ke FNL (inisial) yang membuat pernyataan, dikatakannya pernyataan itu sesuai kenyataan. Ketika wartawan meminta suatu bukti yang melibatkan Wahyu dalam dugaan kejahatan pemalsuan, FNL katakan ada beberapa bukti petunjuk tapi dirinya harus berkoordinasi dengan yang lain.
“Saya tanyakan dulu sama teman saya, apa boleh saya kasih yang diminta wartawan. Kalau dibolehkan saya hubungi,” tuturnya.
Beberapa kali KepriNews.co ke kantor BPKAD akan melakukan konfirmasi ke Tri Wahyu Widadi seputar isi surat pernyataan yang melibatkan dirinya, tapi yang bersangkutan jarang berada di kantor. (TIM)