KN – Dalam tata cara pemberian sanksi kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) di seluruh Indonesia, itu berlaku sama. Ketika berbeda, menyimpang dan tidak mengikuti mekanisme peraturan yang ada, maka pejabat yang berwenang telah melakukan tindak pidana penyalagunaan wewenang, dilihat dari beberapa kaidah hukum, atau unsur kesengajaan menghilangkan kesempatan untuk melakukan keberatan atau banding administratif sesuai peraturan yang ada.
Ketua Lembaga Pemantau Kinerja Pemerintah (LPKP) Pusat Naila, saat dimintai keterangan dari redaksi Kepri News (via seluler-red) mengenai seputar permasalahan yang terjadi di Pemprov Kepri, dalam hal sanksi 3 pejabat yang diduga terjadi penyelewengan wewenang dan pelanggaran yang mengarah pada tindak pidana penyalagunaan jabatan pada tata cara pemberian sanksi.
Naila mengatakan, bahwa terkait tindak pidana penyalahgunaan wewenang, dimuat dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Pada UU ini ada 3 wujud penyalagunaan wewenang dalam hukum administrasi. Pada pemberian sanksi terhadap 3 pejabat itu sangat miris, terlebih kepada pejabat yang merasa menjadi korban, terdapat beberapa poin pelanggaran yang tidak sesuai ketentuan UU.
Poin pelanggaran pertama untuk tindak pidana ini, dimana setiap PNS ketika dijatuhkan sanksi, apa lagi masuk pada kategori sanksi berat, diberi kesempatan selama kurun waktu 14 hari, terhitung dari hari PNS tersebut disanksi, untuk dapat melakukan upaya hukum atas penjatuhan hukuman disiplin PNS. Tapi yang terjadi, korban mendapatkan informasi resmi dari surat keputusan pemberian sanksi, sudah lewat dari 14 hari. Ini bukan hanya sekedar diskriminasi, tapi masuk pada kategori tindak pidana penyelewengan wewenang. Ada unsur kesengajaan yang terjadi agar korban tidak ada kesempatan untuk melakukan upaya hukum pembelaan.
Seharusnya, sesuai prosedur hukum yang ada, pada pemberian sanksi itu harus jelas faktor kesalahannya dan pihak korban wajib mengetahui ketika sanksi itu dijatuhkan kepadanya mulai dari hari pertama, agar PNS yang tersanksi dapat melakukan keberatan atau banding administratif sesuai prosedur. Anehnya korban mengetahui dan resmi mendapatkan SK sanksi tersebut, ketika sudah lewat dari 14 hari, apa lagi korban tidak merasa merasa bersalah apa yang ditimpahkan kepadanya.
Banding administratif dapat diajukan paling lama 14 hari setelah tanggal pemberian sanksi dijatuhkan. Pejabat yang menjadi korban mendapat sanksi jatuh pada tanggal 14 Februari 2019. Sementara informasi sanksi dan SK pemberian sanksi tersebut, baru diberikan kepada korban sekitar 2 Minggu yang lewat, jadi tidak memiliki kesempatan untuk upaya pembelaan dan banding. Ini sama halnya mencuri hak-hak PNS, salah satu bentuk kejahatan yang sangat jahat, karena menghilangkan kesempatan untuk pembelaan.
“Pengadilan Negeri saja memberikan kesempatan kepada penjahat untuk melakukan pembelaan atau banding, pada hal sudah terbukti dan divonis bersalah. Apa lagi ini masih digunakan dasar hukum PP nomor 53 tahun 2010. Kalau ini bukan konspirasi betuk kejahatan yang dengan sengaja dilakukan untuk seseorang (PNS), apa namanya? Jadi jelas tindak pidananya itu ada, dengan sengaja menghilangkan waktu mendapatkan pembelaan dan upaya hukum untuk melakukan keberatan serta banding administratuif,” tegasnya.
Poin kedua, untuk kedua pejabat (kepala dinas-red) yang dijatuhkan sanksi dilihat dari volume kesalahannya itu tidak cocok lagi menggunakan PP nomor 53 tahun 2010, pada kategori pemberian sanksi berat, poin 3, pembebasan dari jabatan. Seharusnya, pejabat ini sesuai aturan, telah melakukan tindakan pelanggaran peraturan dengan sengaja mengeluarkan izin yang tidak benar, berdampak pada kehancuran lingkungan, kerugian negara dan memanipulasi dokumen negara seakan-akan izin itu benar, serta melakukan pembohongan publik lewat media massa beberapa waktu yang memberikan statement tidak benar, hanya untuk menutupi kesalahan.
“Saya dengar, DESDM Kepri melakukan konferensi pers beberapa waktu lalu. dalam hal itu terjadi pembohongan publik untuk memuluskan izin yang tidak benar. Selain membohongi masyarakat, izin IUP OP adalah dokumen negara yang diselewengkan. Konsekuensinya, terjadi kehancuran hutan, lingkungan hidup di Pulau Bintan tanpa dilakukan reklamasi, dan merugikan negara puluhan sampai ratusan miliar perusahaan tidak membayar pajak, akibat izin resmi pemerintah yang tidak benar dan memenuhi syarat. Inikan namanya pidana. Jelas unsur pidananya, kenapa hanya dilakukan sanksi yang tidak sesuai dengan mekanismenya,” tuturnya.
Lajut Naila, contoh kecil, si A melakukan tindakan dengan pembunuhan rencana terhadap 5 orang. Si B membunuh 1 orang karena membelah diri yang tidak direncanakan. Si C hanya memukul orang lain. Hukuman kepada si A digunakan pasal yang si B atau si C lakukan. Sebaliknya, si C atau si B mendapat pasal seperti si A lakukan, ini sangat tidak masuk akal kan? Apakah pemberian hukum yang diterapkan kepada A B dan C itu sesuai? Itu yang terjadi pada pemberian sanksi kepada 3 pejabat Kepri.
Yang jadi pertanyaan, bagaimana dengan Tupoksi Inspektorat Kepri yang berkompeten dalam hal ini? “Silahkan saja mengatakan sanksi dari pusat, tapi yang memeriksa korban adalah inspektorat. Jadi bagaimana hal ini bisa terjadi, kalau bukan hasil pemeriksaan inspektorat sendiri. Korban tidak pernah diperiksa dari kementerian. Jadi, apakah inspektorat yang melakukan pembohongan hasil BAP sampai sanksi melebihi kedua kadis tersebut? Ini menjadi tanda tanya, dan dalam hal ini sangat jelas ada indikasi tindak pidana penyelewengan wewenang oleh hasil pemeriksaan inspektorat.
“Selesai masa pilkada, saya akan berkonsultasi dengan teman-teman yang di Kemendagri, Kemen ESDM, Kemen PANRB dan beberapa LSM di pusat untuk membahas masalah ini. Saya berharap, perlakuan pejabat di Kepri yang berwenang terhadap bawahannya itu harus baik. Jangan menzolimi dan merampas hak-hak mereka untuk melakukan pembelaan. Jangan menjadi birokrasi penjahat, semena-mena perlakuannya terhadap bawahan, nanti ada saatnya karma itu berlaku. Saya sendiri yang akan tantang keputusan yang tidak benar untuk pemberian sanksi kalau itu benar murni dari pusat. Yang namanya salah tidak akan pernah bertahan lama,” ungkapnya.
Kembali dikonfirmasi kepada pejabat yang menjadi korban, mengatakan kalau perlakukan Inspektorat Kepri sudah tidak berkemanusiaan. “Jahatnya mereka, sengaja membuat saya tidak bisa banding administratif yang deadline-nya 14 hari dari tanggal disanksi. Hak pembelaan saya diperkosa, dicuri, direbut, diambil sebagai warga negara Indonesia, sebagai PNS. Tanggal sanksi tertulis 28 Februari 2019. Saya dikasih SK-nya itu baru 2 minggu yang lewat. Begini kah sistim dan aturan PNS yang berlaku di Indonesia,” tuturnya dengan nada bertanya.
Singkat cerita, korban akan membawa permasalahan ini sampai kemanapun, kalau ada unsur pidana yang bisa dilaporkan ke polisi, karena unsur sengaja menghilngkan kesempatan untuk upaya pembelaan dan banding itu terhilang, ia akan melaporkannya.
“Sampai dimanapun saya akan melaporkan masalah ini, tunggu waktu yang tepat. Dan semua masalah kecurangan mengenai izin tambang, pajak/royalti dan teknisnya yang melanggar aturan yang tidak tersentuh hukum sebelumnya, tertutup rapih, saya sendiri yang akan membawanya ke rana hukum, dan melaporkannya ke KPK dan Kemenretian ESDM,” ucap korban.
Kembali Kepri News mengkonfirmasi Kepala Inspektorat Kepri Mirza Bachtiar, lewat via seluler (Whatsapp), Mirza tidak bisa menjawab pertanyaan dengan memblokir nomor wartawan. Untuk Edisi-edisi selanjut, Kepri News akan mengupas seputar mafia-mafia tambang berdasi, dan dugaan uang bagi jatah/bagi hasil yang mengalir, serta manipulasi izin yang sebenarnya terjadi, yang saat hanya diketahui sebatas izin IUP OP langgar aturan, tapi yang sebetulnya terjadi pembohongan dimana? Tunggu edisi selanjutnya. (Bersambung) Redaksi