Opini: Prof Dr HM Soerya Respationo SH MH MM, sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Batam
KEPRINEWS – Hasil survei terbaru Litbang Kompas yang mencatat peningkatan citra baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari 60,9 persen pada September 2024 menjadi 72,6
persen di Januari 2025, merupakan sebuah capaian yang patut diapresiasi.
Namun, sebagai akademisi dan praktisi hukum, Prof Dr HM Soerya Respationo SH
MH MM, sebagai guru bBesar hukum tata negara di Universitas Batam, ingin
menggarisbawahi, perlunya masyarakat memahami lebih mendalam konteks, metodologi,
dan parameter yang digunakan dalam survei ini.
Pemahaman yang objektif dan komprehensif sangat penting agar data survei tidak hanya menjadi sekadar angka, tetapi juga menjadi refleksi atas kinerja penegakan hukum secara menyeluruh.
Lebih lanjut, dalam diskursus mengenai citra lembaga penegak hukum, penting
untuk tidak hanya berfokus pada peningkatan persepsi terhadap satu institusi, melainkan
juga melihat kontribusi kolektif dari semua pihak yang terlibat, termasuk kejaksaan.
Kejaksaan telah menunjukkan konsistensinya dalam mengungkap kasus-kasus besar,
memulihkan aset negara, dan menjadi pelopor dalam penerapan keadilan restoratif.
Dalam konteks ini, transparansi lembaga survei menjadi kunci untuk memberikan
informasi yang kredibel dan edukatif, sekaligus menjaga kesatuan antarlembaga
penegak hukum agar tetap harmonis dan sinergis dalam menjalankan tugas
konstitusionalnya.
Kejaksaan Tetap Konsisten dalam Penegakan Hukum dan Pemulihan Aset Negara
Dalam perspektif penegakan hukum, kejaksaan sebagai institusi penegak hukum
telah menunjukkan kinerja yang luar biasa dalam beberapa tahun terakhir.
Keberhasilan kejaksaan dalam mengungkap kasus-kasus besar, seperti korupsi tata niaga timah periode 2015–2022 yang melibatkan lima korporasi, merupakan bukti nyata dari dedikasi mereka. Kasus ini saja berhasil menyelamatkan keuangan negara hingga triliunan rupiah.
Selain itu, kejaksaan terus fokus pada pemulihan aset dan pengembalian kerugian
negara, aspek penting yang kadang tidak terlalu menjadi sorotan dalam survei persepsi
publik.
Berikut beberapa besar yang ditangani oleh Kejaksaan Agung dalam beberapa
tahun terakhir yang menunjukkan Kinerja Signifikan dalam penegakan hukum dan
pemulihan kerugian negara:
- Kasus Korupsi Jiwasraya
Kasus ini melibatkan dugaan pengelolaan dana investasi yang tidak wajar di PT
Asuransi Jiwasraya, menyebabkan kerugian negara sebesar Rp16,8 triliun. Praktik
manipulasi laporan keuangan dilakukan bertahun-tahun untuk menunjukkan laba palsu.
Kejaksaan menetapkan 13 tersangka, termasuk direktur perusahaan dan pihak-pihak
yang terlibat dalam pengelolaan dana investasi. Aset para pelaku, berupa properti,
kendaraan mewah, dan uang tunai, disita untuk menutupi kerugian negara. - Kasus Korupsi Asabri
Serupa dengan Jiwasraya, korupsi di PT Asabri terjadi dalam pengelolaan dana
investasi yang merugikan negara hingga Rp22,7 triliun. Kejaksaan menetapkan
beberapa tersangka, termasuk petinggi perusahaan dan mitra bisnis. Barang bukti
berupa tanah, bangunan, saham, dan kendaraan mewah disita untuk mengembalikan
kerugian negara. - Kasus BTS 4G
Korupsi terjadi dalam pengadaan BTS 4G yang dikelola oleh Kementerian
Komunikasi dan Informatika, dengan kerugian negara mencapai Rp8 triliun. Dari
investigasi mendalam yang dilakukan oleh kejaksaan, beberapa pejabat kementerian dan
pihak swasta ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian dilakukan penelusuran aliran
dana dan penyitaan aset koruptor untuk pemulihan kerugian negara, sebagai upaya
untuk penyelematan keuangan Negara. - Kasus Korupsi Minyak Goreng
Kasus ini melibatkan pelanggaran dalam distribusi minyak goreng yang
menyebabkan kelangkaan dan melonjaknya harga. Kerugian negara diperkirakan
mencapai Rp1,2 triliun. Kejaksaan menangkap beberapa pejabat dan pengusaha yang
terlibat. Aset pelaku disita, termasuk dokumen dan uang tunai, untuk mengembalikan
kerugian negara. - Korupsi Tata Niaga Timah di PT Timah Tbk
Kerugian negara mencapai Rp271 triliun akibat praktik ilegal dalam tata niaga
timah selama beberapa tahun.
Kejaksaan menetapkan lima tersangka, termasuk pejabat
tinggi. Penelusuran aset di dalam dan luar negeri untuk memulihkan kerugian negara.
Setiap kasus ini menunjukkan peran strategis Kejaksaan dalam menegakkan
hukum dan memulihkan keuangan negara. Keberhasilan ini menjadi bukti nyata bahwa
kejaksaan tidak hanya fokus pada penindakan, tetapi juga pada pemulihan aset yang
hilang.
Kejaksaan sebagai pelopor penerapan keadilan restoratif tidak hanya itu, kejaksaan juga telah menjadi pelopor dalam penerapan konsep keadilan restoratif atau restorative justice. Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk memberikan petunjuk teknis dalam penanganan perkara pidana, termasuk mendorong penyelesaian perkara dengan keadilan restoratif.
Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Keadilan Restoratif memberikan dasar operasional bagi jaksa untuk menghentikan
penuntutan kasus tertentu dengan mempertimbangkan kepentingan korban, pelaku, dan
masyarakat.
Konsep restoratif justice diterapkan dalam kasus-kasus tertentu yang memenuhi
syarat, seperti perkara ringan, tidak berulang, dan tidak menimbulkan dampak luas.
Sebagai contoh dalam beberapa kasus, petani miskin yang mencuri hasil kebun untuk
kebutuhan keluarga diberikan solusi mediasi antara pelaku dan korban.
Pelaku diwajibkan mengganti kerugian, dan kasus dihentikan demi tercapainya perdamaian.
Contoh lain penerapan konsep restorative justice yaitu pada kasus tindak pidana
ringan oleh Anak. Anak yang terlibat tindak pidana ringan, seperti perkelahian atau
pencurian kecil, diarahkan untuk mediasi dengan korban dan diberi pembinaan tanpa
harus masuk penjara.
Pendekatan ini mengurangi beban lembaga pemasyarakatan dalam mengurangi overkapasitas, memulihkan hubungan sosial, dan sekaligus memberikan rasa keadilan yang lebih humanis bagi masyarakat.
Langkah ini selaras dengan teori hukum progresif yang bertujuan menciptakan
sistem peradilan yang lebih inklusif dan berorientasi pada solusi. Prof Satjipto Rahardjo, tokoh hukum progresif di Indonesia, mendasari pendekatan hukum pada prinsip:
1) Hukum untuk manusia, bukan sebaliknya hukum tidak boleh menjadi alat yang kaku, tetapi harus melayani keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks ini, restoratif justice dianggap lebih humanis dibanding pendekatan hukum retributif.
2) Pentingnya kearifan lokal dalam masyarakat Indonesia yang kaya dengan tradisi musyawarah dan gotong-royong, pendekatan restoratif justice dianggap lebih relevan karena mengedepankan penyelesaian konflik melalui dialog dan kesepakatan bersama.
Menurut Satjipto Rahardjo, keadilan bukan hanya soal kepatuhan terhadap norma
hukum tertulis, tetapi juga keadilan substantif yang dirasakan masyarakat. Dengan
demikian, penerapan restoratif justice dalam berbagai konteks mampu mencerminkan
keadilan yang hidup (living law) di tengah masyarakat.
Penerapan konsep restoratif justice oleh kejaksaan tidak hanya memiliki dasar
hukum yang kuat, tetapi juga selaras dengan nilai-nilai keadilan substantif yang diajarkan oleh Satjipto Rahardjo.
Pendekatan ini memberikan ruang bagi penyelesaian konflik secara damai, memulihkan hubungan sosial, dan memberikan solusi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, tanpa mengurangi efektivitas penegakan hukum.
Langkah ini harus terus dikembangkan dan didukung oleh semua pihak untuk
membangun sistem hukum yang lebih inklusif dan berorientasi pada keadilan sosial. Kejaksaan memang layak diapresiasi atas dedikasinya, baik dalam menangani
perkara korupsi berskala besar maupun dalam upaya mewujudkan sistem peradilan yang
berkeadilan.
Oleh karena itu, dibandingkan hanya mengukur persepsi publik secara
subjektif, diperlukan data yang lebih transparan, termasuk metodologi survei, agar
masyarakat dapat menilai secara lebih obyektif. Pentingnya Transparansi Lembaga Survei:
1) Kredibilitas Metodologi dan Parameter Penilaian
Transparansi dalam metodologi dan parameter penilaian adalah inti dari
kredibilitas lembaga survei. Kajian dalam research ethics menekankan pentingnya
keterbukaan untuk memastikan hasil survei dapat diverifikasi dan dipahami oleh
masyarakat luas. Misalnya, jika parameter penilaian mencakup efektivitas penanganan
kasus atau tingkat kepuasan masyarakat, maka metode pengumpulan data, seperti
wawancara atau kuesioner, harus dijelaskan secara rinci. Transparansi ini penting agar
masyarakat memahami bahwa hasil survei mencerminkan fakta, bukan persepsi yang
dimanipulasi.
2) Menumbuhkan Kesadaran Publik Berbasis Ilmu
Lembaga survei memiliki tanggung jawab moral untuk meningkatkan literasi
hukum di masyarakat melalui penyajian data yang jujur dan edukatif. Berdasarkan teori
komunikasi publik, transparansi informasi memungkinkan masyarakat untuk memahami
proses kerja lembaga penegak hukum dengan lebih baik, sehingga meningkatkan
kepercayaan dan partisipasi mereka. Dengan menyajikan metode dan hasil secara
terbuka, masyarakat tidak hanya mendapatkan informasi, tetapi juga pengetahuan yang
mendorong pengawasan berbasis fakta terhadap lembaga penegak hukum.
3) Mencegah Manipulasi Persepsi Publik
Dalam perspektif critical discourse analysis, survei yang tidak transparan berisiko
menciptakan manipulasi persepsi publik melalui framing yang bias. Hal ini dapat
menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tertentu.
Sebaliknya, transparansi dalam survei akan memberikan kontrol yang lebih besar kepada
masyarakat untuk memahami konteks dan validitas hasil yang disampaikan. Akibatnya,
survei akan menjadi alat pengukur yang efektif untuk memperbaiki kinerja lembaga
penegak hukum, bukan sekadar menciptakan narasi sensasional.
Menjaga Kesatuan Lembaga Penegak Hukum saya juga mengingatkan bahwa penting bagi lembaga survei untuk tidak memperuncing perbandingan yang berpotensi memecah belah antara KPK dan kejaksaan.
Kedua institusi ini memiliki peran strategis dalam penegakan hukum dan seharusnya saling mendukung dalam membangun sistem hukum yang kokoh di Indonesia. Dalam sistem hukum yang saling mendukung, peran kedua institusi ini tidak dapat saling dibandingkan secara kompetitif. Keduanya memiliki kewenangan, metode kerja, dan lingkup penanganan kasus yang berbeda. Sebagai contoh, menurut konsep checks and balances, koordinasi antara penegak hukum justru diperlukan untuk memperkuat akuntabilitas dan integritas sistem hukum secara keseluruhan.
Membenturkan citra kedua institusi hanya akan mengurangi kepercayaan publik dan memperlemah kerjasama antarlembaga. Secara ilmiah, perbandingan harus mempertimbangkan perbedaan tugas dan wewenang yang mendasari fungsi KPK dan kejaksaan. Kajian dalam hukum administrasi publik menekankan bahwa setiap lembaga memiliki mandat spesifik berdasarkan
undang-undang yang berlaku.
KPK berfokus pada pencegahan dan pemberantasan korupsi, sementara kejaksaan memiliki fungsi penuntutan dan pemulihan aset negara. Menekankan perbedaan ini melalui survei yang transparan dan komprehensif akan mendorong pemahaman yang lebih baik di kalangan masyarakat.
Kajian dalam teori organisasi menegaskan bahwa sinergi antarlembaga menjadi elemen kunci keberhasilan sistem yang kompleks. Lembaga survei seharusnya mempromosikan narasi kolaborasi antara KPK dan kejaksaan dalam menyelesaikan kasus-kasus besar, daripada menonjolkan perbandingan yang berpotensi menimbulkan kesan persaingan.
Narasi yang positif akan meningkatkan kepercayaan publik secara kolektif terhadap seluruh lembaga penegak hukum, memperkuat legitimasi, dan mendukung upaya pemberantasan korupsi secara sistematis.
Dengan memastikan transparansi dan menghindari narasi yang memperuncing perbedaan, lembaga survei dapat berkontribusi pada penguatan sistem hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum di Indonesia.
Sebagai masyarakat, kita semua harus mendukung langkah-langkah konstruktif kedua lembaga ini dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas.
Dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum dapat terus meningkat, seiring dengan peningkatan kualitas dan profesionalisme mereka.
Penulis: Prof Dr HM Soerya Respationo SH MH MM