KEPRINEWS – Pembangunan mercusuar di Pulau Karang Singa yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura, berjarak 6,85 kilometer dari Utara Pulau Bintan, merupakan tanda kedaulatan wilayah NKRI.
Lokasi strategis Karang Singa di Selat Malaka yang menjadi jalur lalu lintas laut terpadat di dunia, berpotensi sengketa, sehingga pemerintah membangun mercusuar yang menunjukan kepemilikan wilayah melalui infrastruktur permanen dan helipad.
Pengerjaan mercusuar dimulai sejak tahun 2023 lalu, bernilai Rp69,1 miliar, dikerjakan oleh PT Pacific Multindo Permai (PMP), melalui Kantor Distrik Navigasi Tipe A Kelas I Tanjungpinang, menjadi sorotan utama dari berbagai elemen masyarakat.
Seperti dikatakan oleh Ketua Lembaga Pemantau Kinerja Pemerintah (LPKP), Mhd Hasin, kepada keprinews.co, Senin (9/9), pengerjaan pembangunan mercusuar diduga kuat terjadi penyimpangan pelaksaan proyek yang menabrak sejumlah aturan.
Mulai dari mekanisme pembayaran, realisasi pelaksaaan dan durasi penyelesaian, serta persetujuan kontrak tahun jamak yang dikerjakan oleh perusahaan yang sama. Di mana, dari 25 tiang pancang yang akan dibangun, pada tahun 2023, baru 1 tiang yang berdiri. Dengan durasi pelaksanaan hampir memakan waktu 2 tahun, tiang yang terlihat dibangun baru 3 tiang.
Dijelaskan Hasin, setelah PT PMP mencairan uang muka proyek, berjumlah 20 persen dari nilai kontrak Rp69.1 miliar, tidak menunjukan kemajuan pekerjaan sesuai waktu pelaksanaan. Pembangunan fisik yang terlihat saat itu (Agustus 2023), hanya satu tiang pancang yang berdiri melewati air laut.
Ironisnya, walaupun belum memenuhi pencapaian pekerjaan berdasarkan fakta di lapangan, realisasi pembayaran termin I pada Agustus 2023 tetap dilakukan, dengan nilai 15 persen dari anggaran proyek ini.
“Proyek gagal ini membutuhkan sentuhan hukum dan tindakan serius APH dalam penegakan hukum terhadap proyek yang terindikasi berpotensi merugikan uang negara puluhan miliar,” harapnya.
Seirama dengan itu, salah satu pegawai Distrik Navigasi (namanya dirahasiakan) Sabtu (7/9), kepada wartawan membeberkan sejumlah indikasi penyelewengan proyek yang telah dilakukan sejak tahun 2023. Seperti pembayaran termin I yang dicairkan tidak berdasarkan prestasi kerja. Dokumen pencairan yang diajukan untuk pembayaran termin I diduga terjadi manipulasi data dengan cara berkolaborasi dari pihak pelaksana dengan oknum pejabat pengadaan.
“Seharusnya pencairan termin didasarkan pada ketentuan kontrak antara kedua belah pihak, mengaju pada tahapan pelaksaan proyek yang menjadi dasar pembayaran. Sejumlah prosedur pembayaran diabaikan, seperti pengujian mutu, prestasi kerja sesuai fakta di lapangan. Standar kualitas atau mutu pekerjaan, dan sejumlah dokumen yang menjadi syarat pencairan,” bebernya.
Dalam hal ini, kedua belah pihak, teristimewa KPA dan PPK kegiatan tidak mempertimbangkan bobot pekerjaan yang masih berdiri 1 tiang.
Artinya, capaian kerja belum menunjukan persentase pekerjaan yang layak dibayar. Mengacu pada prosedur pembayaran secara termin, ditentukan dari capaian prestasi. Termin I jika pekerjaan sudah 25 persen. Termin II ketika fisik proyek mencapai 50 persen.
Selanjutnya, termin III apabila prestasi capai 75 persen dan termin IV mencapai 100 persen. Namun realisasi pembayaran per termin, tidak didasari kepastian progres kerja dan tahapan-tahapan persyaratan yang diamanatkan UU.
Melihat persentase kemajuan pekerjaan mercusuar dari Agustus 2023 hingga Agustus 2024, baru mencapai 3 tiang pancang yang dihasilkan, mengambarkan pekerjaan mengalami gagal yang kedua kalinya.
Normatifnya, proyek ini, sejak awal pelaksanaan tahun 2023 dengan kontrak tahun tunggal, PT PMP seharusnya disanksi sebagai perusahaan yang masuk dalam daftar hitam. Progres pekerjaan PT PMP dari awal 2023, tidak memenuhi ketentuan dan waktu penyelesaian yang ditentukan dalam kontrak pekerjaan.
Hal ini menunjukan wanprestasi dalam pelaksanaan proyek dari tahun berkenaan awal kegiatan sampai tahun ini. Pejabat pengadaan dapat memberikan kesempatan kedua ke pihak PT PMP pada tahun 2023, apabila keterlambatan pembangunan memiliki alasan tertentu. Termasuk pencapaian prestasi kerja di atas 75 persen yang menjadi tolok ukur pengecualian pelaksaan kedua.
“Bayangkan, target pembangunan sebanyak puluhan titik tiang pancang yang harus dibagun. Faktanya baru 3 tiang yang terlihat dikerjakan. Ini jelas proyek gagal pada pelaksanaan dua tahun anggaran. Kebijakan pejabat yang berkompeten yang tidak mempedomani aturan, serta prinsip pelaksanaan, membuahkan hasil wanprestasi pelaksanaan proyek.
Aktivis mahasiswa Kepri Josua, meminta, agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), APH di daerah Kepri baik dari kepolisian dan kejaksaan agar dapat melakukan tindakan tegas penegakan hukum. Proyek puluhan miliar yang berpotensi kuat merugikan keuangan negara, harus ditindaklanjuti.
Sampai berita ini diterbitkan, kontraktor pelaksana PT PMP, dan pihak Kantor Distrik Navigasi Tipe A Kelas I Tanjungpinang, belum dapat diwawancarai.
Beberapa kali wartawan mendatangi kantor Distrik Navigasi, di Kijang Kota, Kecamatan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, pihak yang bertanggung jawab dan berkompeten memberikan klarifikasi, pada saat itu tidak berada di tempat. (red)