KEPRINEWS – Tren kenaikan harga kedelai mulai merangkak tinggi sejak awal tahun 2023 kemarin dan terus melonjak hingga saat ini. Fluktuasi harga kedelai inipun membuat para pengrajin tempe dilema.
Alih-alih menaikan harga tempe di pasaran atau mengurangi ukurannya, para perajin lebih memilih mengurangi penjualan atau produksi perharinya.
Salah satu pengrajin tempe di Tanjungpinang, Supriyanto saat dikonfirmasi pada Minggu (22/10/2023) mengatakan, bahwa usaha tempe miliknya itu sudah dimulai sejak tahun 1970-an yang awalnya di nahkodai oleh orang tuanya.
Menurutnya, kenaikan harga kedelai sangat memberatkan para pengrajin tempe. Dimana, kedelai merupakan bahan dasar utama pada pembuatan tempe.
Akibat kenaikan inipun, ia terpaksa mengurangi produksi tempe dengan menggunakan 50 kg kedelai mentah, hal itu ia lakukan hanya untuk para pelanggannya.
“Sekarang sudah menyentuh angka Rp650 ribu per 50 kilogram, padahal harga sebelumnya hanya Rp590 ribu per 50 kilogram di bulan kemarin. Jadi sejak awal tahun sudah beberapa kali naik,” jelasnya.
Atas kenaikan ini, ia mengaku tidak bisa menaikan harga jual tempe ataupun mengurangi ukurannya, karena hal itu bisa berdampak pada daya beli konsumen yang menurun. Hal tersebut turut berimbas pada omzet penjualannya.
“Dengan harga kedelai yang naik dan harga jual tempe yang sama tentu akan berdampak pada pendapatan. Karna modal produksi bukan hanya kedelai, tapi seperti kayu, daun maupun plastik,” imbuhnya.
Tempe-tempe hasil produksinya itu, kata dia, merupakan pesanan dari beberapa warung dan toko di Tanjungpinang. Dan sebagiannya lagi, akan ia jual di pasar.
“Jadi jam 4 subuh kita sudah olah tempe-tempe ini, nanti kita antar ke warung atau toko yang pesan. Ada juga sebagian yang kita jual dipasar,” tuturnya.
Kendati demikian, iapun berharap agar harga kedelai bisa normal kembali sehingga bisa meningkatkan produksi tempe dan omzetnya.
“Semoga pemerintah bisa melihat kami (pengrajin tempe), dan memberikan subsidi pada harga kedelai,” pungkasnya. (un)