
KEPRINEWS – Tahapan Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam kajian kemungkinan penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi masih menjadi polemik.
Wacana hukuman mati mendapat protes dari sejumlah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Melalui keterangan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid Minggu (05//12/2021), kepada wartawan, dikatakannya bahwa hukuman mati merupakan pelanggaran hak untuk hidup sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Terlepas siapa yang dituduh melakukan korupsi, sifat korupsi, bersalah atau tidak, metode eksekusi hukuman mati yang diwacanakan tidak akan menjadi patokan tindakan ini dapat dihentikan. Hukuman mati tidak terbukti menimbulkan efek jera.
Melihat negara-negara yang tingkat korupsinya rendah berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi TII, contohnya Denmark, Selandia Baru, Finlandia, tidak menerapkan keputusan hukuman mati untuk koruptor.
Sejumlah negara yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor, yaitu Irak, Tiongkok, Korea Utara, malahan memiliki level korupsi yang jauh lebih tinggi. Negara-negara yang menerapkan hukuman mati tersebut, beberapa di antaranya lebih tinggi tingkat kejahatan korupsinya dari Indonesia.
Lanjutnya, yang dapat menimbulkan efek jera dalam pemberantasan korupsi, apabila Jaksa Agung dan aparat penegak hukum lainnya fokus memastikan semua pelaku korupsi harus sampai ke pengadilan dan divonis sesuai hukum yang berlaku.
Intinya, hukuman mati terbukti tidak efektif sebagai solusi pemberantasan korupsi. Dari pada hanya sibuk dengan wacana hukuman mati, mendingan kejaksaan fokus pada sejumlah PR (pekerjaan rumah) besar yang belum mereka selesaikan.
Banyak di sejumlah daerah perkara korupsi tidak dituntaskan sampai ke pengadilan. Penerapan hukuman yang sudah ada tidak diimplementasikan dengan baik, sehingga para koruptor terus terjadi. (VVL)
























