Dinas Sosial Kabupaten Bintan, diharapkan melakukan perannya dalam menyikapi pelaku AD (inisial), yang diduga sebagai pelaku pembakaran keramba, yang saat kondisi pelaku dinyatakan berperilaku menyimpang. Namun perilaku kejahatan sudah dimunculkan sebagai interaksi antara faktor personal dan faktor lingkungan yang harus dapat diidentifikasi dan Rehabilitasi Sosial, agar menjaga kemungkinan terjadi tindak kejahatan yang lain juga di tengah masyarakat.
KEPRINEWS – Aan sebagai korban pemilik keramba ikan di Desa Air Glubi, bersama salah satu aktivis muda Bintan Alfin (34) kepada KepriNews.co, baru-baru ini memaparkan, bahwa AD yang diduga sebagai pelaku pembakaran keramba, sebelumnya sudah mengakui perbuatannya yang diakuinya juga kepada sejumlah masyarakat dan polisi yang menangani perkara.
Dijelaskan Alfin, dalam pengakuan AD, bahwa benar ia yang melakukan pembakaran keramba tersebut. Dalam aksinya, ia mengakui menggunakan bensin. Bahkan saat menyiram bensin, baju yang dipakainya ikut tersiram. Akhirnya AD membuang baju yang dipakainya ke air.
“Pada pengakuan AD, itu sudah sesuai dengan fakta dari sejumlah saksi yang melihat keberadaan AD pada malam terjadinya peritiwa ini. Diungkapkan sejumlah warga yang melihat AD, bahwa pada saat kebakaran, tidak menggunakan baju lagi ketika lewat di depan rumah saksi. Jam yang bersamaan terbakar, ada yang melihat AD juga berjalan terburu-buru dengan tidak menggunakan pakaian atas lagi. Jadi, kasus ini sudah jelas kebenarannya. Jadi kemungkinan aktor utamanya takut terungkap lewat pengakuan AD nanti, sehingga skenario tambah gila, tambah rumit dan melenceng dari surat keputusan bersama itu lah yang terjadi,” tuturnya.
Surat Kesepakatan Bersama Yang Ditandatangani oleh Pihak Kepolisian, Desa, Korban & Keluar Pelaku Dijadikan Surat PHP?
Dengan pengakuan pelaku yang telah dilakukan introgasi kebenarannya oleh beberapa pihak, maka terjadi lah suatu kesepakatan dan komitmen, untuk menempu jalur kekeluargaan, lewat Surat Keputusan Bersama, yang ditandatangani oleh Bhabinkamtibmas Air Glubi Briptu Hery Safrizal, Kades Air Glubi Adi Surianto, Hendry Orang tua Pelaku, Saliman dan Istri Korban Susan, pada tanggal 2 Agustus 2020 lalu.
Ironisnya, kesepakatan itu dibatalkan dengan skenario AD itu adalah pribadi yang tidak normal kejiwaan. Sehingga dilakukan pemeriksaan di rumah sakit RSUP Kepri. Dijelaskan Alfin, bahwa Kategori kualifikasi Pasal 44 Ayat (1) KUHP, secara garis besar yaitu hanya orang yang memiliki penyimpangan psikis, penyakit kejiwaan permanen secara terus menerus. Tapi jika pelaku tidak permanen, mampu menginsyafi perbuatannya yang diketahuinya bersifat melawan hukum, bisa dijerat dengan UU tindak pidana kejahatan pembakaran.
Pasal 44 Ayat (1) KUHP, pada kaca mata hukumnya melihat peran kausalitas penyimpangan psikis yang harus dipertimbangkan dalam suatu delik. Semakin besar peran penyimpangan psikis, semakin kecil kadar kesalahannya dan semakin besar kadar kesalahan/kejahatannya, semakin kecil penyimpangan psikisnya. ,
Artinya kondisi perilaku dalam delik ini, tidak boleh disepelekan, sebab berpotensi akan berkembang menjadi tindakan kriminal lainya. Perilaku menyimpang yang sudah tidak sesuai norma-norma dalam masyarakat, melakukan tindakan melanggar hak dan kesejahteraan hidup orang lain, maka peranan dinas sosial dapat mengambil kebijakan dan tindakan isolasi, rehabilitasi sosial, upaya meminimalisir kemungkinan tindakan pidana lain yang dapat dilakukannya lagi.
Walaupun polisi juga memiliki kewenangan dalam menilai kejiwaan objek pelaku kejahatan, tapi hanya hakim lah yang memiliki kewenangan secara penuh untuk menyatakan kejiwaan/perilaku seseorang, apakah seorang pelaku tindak pidana memiliki kemampuan bertanggung jawab atau tidak, dengan memperhatikan apakah penyakit tersebut sedemikian besarnya hingga perbuatan terdakwa tidak dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Jadi yang menetapkan ada atau tidaknya hubungan keadaan jiwa dengan perbuatannya itu merupakan wewenang hakim, dan bukan ahli jiwa.
Secara prosedur hukum yang berlaku untuk perkaran tindak pidana kejahatan oleh orang yang berperilaku menyimpang, dalam menentukan apakah seseorang yang memiliki ketidakmampuan akal, yang termasuk kemampuan jiwa, juga memiliki kemampuan bertanggung jawab secara pidana, hasil pemeriksaan psikiatri tidaklah bersifat mutlak.
Artinya, orang yang tidak memiliki kemampuan akal sehat, termasuk kemampuan jiwa, tidak serta merta langsung dapat dikatakan tidak dapat bertanggung jawab secara pidana (ontoerekeningsvatbaar) atas tindak pidana yang dilakukannya oleh hakim di pengadilan.
Dasar Hukum Pengrusakan Oleh Polsek Bintim, Tak Sesuai Fakta Kejadian Perkara Yang Terjadi, Yaitu Pembakaran
“Kami juga kompalin dasar hukum yang digunakan oleh Polsek Bintim dalam kasus ini, hanya disebutkan sebagai suatu tindakan pengrusakan, pada hal kejadian ini adalah tindak pidana pembakaran seperti instruksi Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” ungkap Alfin, sembari mengkritik kinerja Polsek Bintim dalam menangani kasus seperti ini, perlu banyak belajar lagi dan bisa memiliki kemampuan pengambilan sikap pada suatu perkara.
Untuk itu, kami juga mengharapkan pihak Pemkab Bintan, dalam hal ini Dinas Sosial dapat melakukan pembinaan mental atau rehabilitasi sosial kepada AD, yang diduga kuat sebagai pelaku pembakaran, agar tidak menimbulkan masalah baru di Desa ini yang sangat merugikan masyarakat. B E R S A M B U N G (Redaksi01)