Praktik monopoli lahan secara besar-besaran oleh korporasi di Wilayah Kabupaten Bintan terus terjadi, sehingga konflik agraria meningkat. Ketimpangan atas sumber agraria dalam mekanisme kebijakan pemberian HGU/HGB kepada korporasi disinyalir cacat hukum. Dalam pemberian Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah di wilayah Bintan rata-rata menabrak UU.
KEPRINEWS – Persengkataan Lahan di Kabupaten Bintan antara perusahaan dan masyarakat di beberapa lokasi terus terjadi. Ketimpangan prosedur dan konflik agraria diwadahi dari penguasaan lahan secara besar-besaran oleh korporasi. Artinya, kepemilikan tanah yang hanya terkonsentrasi pada segelintir orang dan korporasi tanpa prosedur membuat potensi konflik jadi kian besar.
Hal ini dikatakan oleh Ketua Lembaga Komando Pemberantasan Korupsi (L-KPK) Provinsi Kepri Kennedy Sihombing. Diuraikannya, kinerja instansi yang berkompeten dalam hal ini termasuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bintan yang dinilai mandul.
Kennedy mengatakan, sangat heran dengan mekanisme kebijakan pemerintah terkait yang tidak mengakomodir skema penyelesaian konflik agraria antara rakyat dan korporasi wilayah Bintan. Ironisnya, HGU/HGB diberikan kepada perusahaan yang tanah-nya tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Pada hal dari sisi hukum, Indonesia memiliki aturan perundang-undangan yang cukup komprehensif mewadahi problematika agraria. Prosedur mekanisme untuk pemberian hak dan pencabutan hak atas tanah itu sangat jelas. Namun kenapa di wilayah Bintan terkesan tidak ada hukum, yang sesuka hati korporasi mendapatkan hak atas tanah negara, walaupun tidak sesuai peruntukan dan instruksi UU.
Seperti yang terjadi di beberapa lokasi Bintan, Gunung Lengkuas, Toapaya, Desa Busung. Posisi dan kepemilikan lahan/aset tanah justru cenderung dikuasai oleh korporasi yang dilatarbelakangi oleh oknum-oknum pemegang kekuasaan, memiliki kekayaan dan pengaruh. Data statistik menunjukkan, jumlah warga di perdesaan sebagai petani penggarap justru tidak memilikin atau mendapatkan hak lahan. Eksistensi tanah negara yang telantar Bintan, rata-rata dinyatakan milik sejumlah perusahaan yang terlihat dengan puluhan papan pemberitahuan, bahwa tanah dikuasi-nya.
“Bahkan parahnya lagi di Tanjungubang, seperti di Desa Busung dan sekitarnya sudah diklaim lahan tersebut dikuasai korporasi, pada hal lahan itu tidak digunakan sesuai instruksi UU. Sampai di area persekolahan, perumahan, dipasang papan plang penguasaan lahan,” tuturnya.
Lanjut Kennedy, sesuai SOP pemberian HGU, diberikan kepada warga negara Indonesia atau badan hukum untuk menjalankan kegiatan usaha pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan pergaraman atau lainnya. Tetelah masa waktu habis bisa di perpanjang kalau di buktikan sesuai peruntukannya 25 persen selama 3 thn . tetapi kalau tidak di buktikan sesuai peruntukannya 25 persen dalam waktu sampai 3 thn tidak bisa di perpanjang.
Pemanfaatan lahan telantar dalam tinjauan UU pokok agraria diperlukan political-will pemerintah, konsistensi, serta kebijakan pertanahan yang akuntabel dan komprehensif dalam rangka mendorong pemanfaatan lahan tidur. Artinya dicermati dan kontrol pengawasan peruntukan tanah itu harus fokus, agar tidak semena-mena mencaplok lahan dikuasai tapi faktanya diterlantarkan.
Salah satu penyebab dan akar kemiskinan yang terjadi saat ini pada umumnya, adalah terbatasnya akses kepemilikan aset tanah kelompok miskin karena rendahnya pendapatan mereka. Justru kepemilikan lahan yang luas tersebut secara de jure, memang dikuasai kalangan swasta besar. Namun secara de facto tanah tersebut cenderung dibiarkan iddle, menganggur, tidak produktif.
Di sinilah letak pentingnya kebijakan pemanfataan lahan bahkan dalam tingkatan tertentu kebijakan landreform atau reformasi agraria. Asumsi yang dibangun, jika lahan nganggur, tidak pro-duktif dan idle tersebut, tiba-tiba lahan itu sudah diklaim oleh korporasi. Jadi peluang untuk rakyat bisa itu sangat kecil. Apalagi ketika akan mengurus untuk menggunakan lahan itu mulai dari tingkat RT sudah sangat sulit.
“Kami harapkan khususnya di wilayah Bintan, pemerintah jangan kompromi dengan mafia tanah. Lahan kategori tanah negara jangan terlalu gampang diklaim oleh korporasi sebagai lahannya, yang pada kenyataan lahan itu dibiarkan terlantar, tidak ada pembangunan apa-apa, atau sesuai peruntukannya,” tutup Kennedy. (Redaksi01)