KN – Belum lama ini, lewat Inspektorat Provinsi Kepri telah mencabut Izin IUP dari PT GBA yang bergerak pada pertambangan di Kabupaten Bintan. Hal ini, sama artinya inspektorat membebaskan perusahaan untuk tidak melakukan reklamasi.
Pada hal, apabila perusahaan tidak melakukan pemulihan dan reklamasi hutan yang telah hancur adalah pidana. Hal ini dikatakan oleh salah satu ahli tambang IN, kepada KepriNews.co kemarin.
Pelaksanaan Reklamasi dan paska tambang yang wajib dilaksanakan oleh pemegang IUP (yang dicabut inspektorat) adalah bahagian pekerjaan di dalam izin Usaha Pertambangan.
Jika IUP dicabut berarti hilang kewajiban perusahaan untuk mengembalikan fungsi lingkungan yang berarti menjadi tanggung jawab si pencabut izin.
Karena bila hutan tidak direklamasi kembali adalah pidana. Siapa yang harus melakukan reklamasi sesuai ketentuan hukum yang berlaku? “Apapun ceritanya, hutan itu harus direklamasi atau mengembalikan fungsi hutan seperti sebelum dilakukan operasi tambang. Ini tidak boleh diangap hal sepeleh, karena ketika tidak dilakukan reklamasi, jelas merupakan tindakan pidana sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Jadi siapakah yang akan melakukan reklamasi, hutan sudah hancur dan reklamasi suatu kewajiban untuk dilaksanakan,” ujarnya.
Harusnya, inspektorat menghentikan kegiatan produksinya saja yang merupakan salah satu bahagian di dalam IUP. Jadi PT GBA masih tetap melakukan kewajiban mereklamasi usai paska tambang seperti ketentuan pasal 2 diatas.
Dasar pencabutan izin PT GBA, alasanya sangat konyol sebab tak prosedural, hanya karena tidak lapor gubernur pada saat penerbitan perpanjangan izin 2 tahun lalu.
“Alasan yang dibuat-buat alias alasan yang tak substantif, asal ngomong, asal bertindak, asal mencabut. Notabane-nya Mirza Bachtiar sangat tidak profesional dan tahu akibat yang akan terjadi. Ini konyol namanya,” tuturnya.
Ketika terjadi sesuatu dikemudian hari akibat kerusakan lingkungan, apakah inspektorat bertanggungjawab? Ketika akan disalahkan ke perusahaan yang telah beroperasi sebelumnya, maka secara aturan dan prosedur, perusahaan tersebut tidak bisa disalahkan.
Pasalanya, saat izin itu dicabut, kewajiban-kewajiban yang terikat dalam izin PT GBA tersebut hilang. Dalam kasus ini dampak dan pertanggungjawaban itu bermuara pada Gubernur Kepri, selaku kepala daerah.
Jadi bila lingkungan terjadi erosi, banjir atau sesuatu yang tidak diinginkan, maka dengan sendirinya tanggung jawab itu adalah Pemerintah Provinsi, dalam hal ini gubernur sebagai pengambil kebijakan tertinggi.
“Tindakan dari inspektorat itu adalah suatu kebodohan yang tidak menguasai tentang pertambangan. Seharusnya mereka hanya menghentikan kegiatan tambang yang berjalan, bukan mencabut izin keseluruhan, walaupun dalam izin PT GBA ada indikasi menyalahi aturan.
Tapikan dalam izin iru ada tanggung jawab reklamasi. Setidaknya, walaupun sudah terjadi kesalahan awal, tapi tanggung jawab dan prosedur hukum yang sudah terlanjur terjadi harus ada tanggung jawab dan harus direklamasi. Pasti perbuatan melanggar hukum tahap berikutnya berpotensi terjadi. Kita lihat saja, kalau hutan di Bintan tidak direklamasi, maka suatu saat tuntutan pengrusakan lingkungan ini akan dilimpahkan ke pencabut izin, yakni Mirza Bachtiar sebagai Kepala Inspektorat Kepri, dan dampak lainnya pasti arahnya ke gubernur.
Ketika tidak dilakukan reklamasi kembali, artinya pidana siap menanti, dan siapakah yang akan menerima pidana pengrusakan hutan ini? Apapun itu, yang namanya merusak hutan atau meluluhlantakan lingkungan hidup, proses hukum harus terus berjalan. Sebab itu sudah tertuang dalam aturan. Makanya, dalam izin itu, ada prosedur dan kewajiban perusahaan, selain pajak, juga pemulihan lingkungan dengan cara reklamasi. Jadi, dengan pencabutan izin dari inspektorat, membuat jebakan secara tidak langsung kepada gubernur untuk bertanggungjawab dalam kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini di Bintan. Semua tahu betapa fatal dan hebat lingkungan hutan hancur lebur oleh aktivitas pertambangan. Tidak mungkin DESDM atau Inspektorat Kepri yang akan tanggung jawab.
“Saya rasa tidakan pencabutan izin tersebut, karena mereka tidak tahu prosedur atau tidak profesional dalam pertambangan, akhirnya tindakan kebodohan yang dilakukan dan diputuskan Kepala Inspektorat Kepri,” ucapnya. Ada 2 kesalahan fatal yang terjadi akibat ESDM dan Inspektorat, yakni membuat kerugian negara dengan tidak membayar kewajiban perusahaan sesuai UU, dan membuat tanggung jawab reklamasi dari PT GBA hilang. Siapakah yang akan menggantikan puluhan sampai ratusan miliar kerugian negara? dan Siapakah yang akan bertanggungjawab atas kerusakan hutan untuk penghijauan atau reklamasi sesuai aturan negara yang belaku?
Ketika dikonfirmasi hal ini kepada Kepala Inspektorat Mirza Bachtiar, via Whatsapp mengatakan proses auditnya masih jalan. Kepri News terus menanyakan seputar tambang dan izin itu, tetap Mirza tidak mau menjawab, hanya mengatakan kalau hal ini masih dalam proses pemeriksaan.”Mohon maaf, sesuai uu 23 dan PP 12 tahun 2017 pasal 23 Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) bersifat rahasia, tidak boleh dibuka kepada publik, dan tidak boleh diberikan kepada publik kecualiditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Mirza.
Kembali lagi dijelaskan IN, bahwa Mirza selaku Kepala Inspektorat Kepri dinilai lalai dan tidak profesional mengambil keputusan untuk pencabutan izin ini. Jangan karena mau menghilangkan bukti atau jejak, akhirnya melepaskan kewajiban hukum reklamasi oleh perusahaan.
Merujuk pada ketentuan yang ada, tindakan pencabutan izin telah menimbulkan masalah baru dan berakibat reklamasi itu menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi. Siapapun yang akan bertanggungjawab, tapi harus secepatnya melakukan reklamasi untuk menyelamatkan Pulau Bintan dan hutannya. Kalau tidak ada yang melakukan reklamasi, sudah jelas itu adalah pidana yang harus dihukum sesuai aturan yang berlaku. (Bersambung)
Penulis: Jenly