KN – Dengan gemparnya beberapa waktu lalu, mengenai sanksi terhadap 2 kepala dinas, yakni Kadis ESDM dan Kepala DPM-PTSP Kepri, dikarenakan mengeluarkan izin yang melanggar aturan atau tidak sesuai peruntukan pada tahun 2018-2019, terkait dengan 19 izin IUP OP untuk penjualan. Termasuk pada proses izin yang dikeluarkan di luar sepengetahuan Gubernur Kepri.
Berbeda dengan Pejabat yang merasa korban diberikan sanksi terberat, dituding Inspektorat Kepri, termasuk yang memperpanjang izin PT Wahana dan PT GBA tahun 2017-2018. Pada hal pejabat ini tidak pernah berurusan dengan izin dari PT Wahana, jadi saat diperiksa inspektorat korban hanya menjawab tidak tahu, disebabkan memanga ia tidak tahu mengenai permasalahan izin PT Wahana.
Karena, Kepala Dinas ESDM pada proses perpanjangan izin PT Wahana tidak melibatkannya. Hanya pada waktu itu (tahun 2017) korban terlibat membantu proses perpanjangan izin PT GBA dari 2017 ke 2018. Tapi, PT GBA telah memberikan kontribusi dengan sumbang royalti ke negara sebesar Rp102 miliar dari ekspor 1,6 juta ton. Sementara PT Wahana belum membayar royaltinya/pajak sesuai ketentuan UU yang berlaku, termasuk 19 izin IUP OP untuk penjualan yang jelas menabrak aturan dan menghilangkan royalti milik negara.
“Saat itu (2017-red) saya masih eselon 4 dengan jabatan kepala seksi, perpanjangan izin PT GBA 2017-2018 sesuai prosedur. Yang menjadi masalah sebenarnya, saat 19 izin IUP OP yang direkomendasikan DESDM terkesan mafia izin IUP, sehingga kerusakan hutan di Kabupaten Bintan terjadi dengan hebat,” tuturnya.
Ironisnya, kenapa korban yang diberikan sanksi lebih berat dari 2 Kadis tersebut. Statusnya masih Kepala Seksi, kenapa bukan Kabid-nya atau yang pejabat saat ini yang jelas mengeluarkan 19 izin bodong. 1 izin saja, bisa melululantahkan hutan, apa lagi 10 izin.
Dibayangkan total izin IUP OP yang direkom dan berhasil diterbitkan ada 19 izin, apa hutan di Bintan tidak hancur lebur. Mengapa pejabat-pejabat ini, mulai dari kepala seksi dan Kabid-kabidnya tidak tersentuh sanksi hukum, malahan mendapat perlindungan. “Saya yang tidak bersalah, disanksi lebih berat. Dimana keadilan untuk ini, kebenaran diputar balikan,” ucapnya.
Sanksi ini berawal dari pengrusakan hutan tahun 2019 yang mendapat sorotan tajam masyarakat dengan kondisi Pulau Bintan dihancurkan dengan aktivitas tambang, akibat 19 izin. Hingga menciptakan kerusakan wilayah terlindung yang tidak seharusnya terjadi. Ini sangat sebagaian pejabat yang ada di ESDM menabrak mekanisme dan prosedur UU sesuai fakta kerusakan aktivitas tambang. Ini yang dilindungi dari berbagai sanksi yang sepatutnya diberikan sanksi karena jelas unsur pelanggarannya.
Parahnya lagi, oknum-oknum pejabat yang terlibat pada proses 19 izin IUP OP, selain terindikasi menghilangkan pemasukan negara yang begitu banyak, termasuk fungsi inspektorat untuk mengawasi tidak dilakukan, hanya sibuk ketika sudah jadi masalah dan ketahuan ternyata izin tersebut tidak memenuhi syarat dan ketentuan alias bodong dan kaleng-kaleng. Sebelumnya dimana inspektorat? Apa yang dilakukan mereka untuk itu sebelumnya.
Konsekuensi 2 pejabat yang disanksi termasuk sangat ringan dari volume kesalahannya, menyusul 1 pejabat korban yang tidak bersalah mendapat sanksi terberat (hanya eselon 4 saat itu-red). Penuh tanda tanya, tidak bijaksana dan profesional serta mendiskriminasi, menzolimi hanya untuk menutupi pejabat yang bersalah alias tumbal.
Korban mengatakan, sakit hati dengan cara sanksi yang aneh dan tidak mendasar. Sebetulnya ini adalah bentuk diskriminasi, melanggar aturan PNS, dimana, semena-mena karena jabatan, menjatuhkan sanksi pada pejabat yang tidak terlibat dalam kasus ini. Pemberian sanksi terkesan hanya karena menutupi (kepentingan tertentu-red) dan menjadikan orang lain yang bersalah. Tragisnya pejabat yang seharusnya mendapatkan sanksi malah dilindungi dan diplintirkan volume kesalahannya kepada orang yang tidak bersalah.
Kata Kepala Inspektorat Kepri Mirza Bachtiar menuturkan kepada Kepri News, bahwa yang memberikan sanksi kepada pejabat ini bukan dari mereka, tetapi hasil pemeriksaan dari Itjen. Jadi untuk sanksi yang diberikan ini, diakibatkan hasil audit dari Itjen Dagri. Hukuman sanksi berat dari pusat, bukan dari provinsi.
Hal ini dibantah oleh korban karena terkesan buang badan. “Saya tahu ini akal-akalin mereka saja yang tidak mendasar. Saya hanya ikut proses izin IUP PT GBA tahun 2017 yang sesuai prosedur dan telah memberikan kontribusi besar kepada negara Rp102 miliar (royalti), jadi salahnya dimana dibandingkan dengan beberapa oknum pejabat ESDM yang ada saat ini dengan proses 19 izin IUP OP untuk penjualan. Masalah ini sebetulnya yang diaudit pusat kemarin tidak ada kaitannya. Dan masa saya itu tahun 2017, masalah yang terangkat 2018-2019. Bahkan waktu itu saya eselon 4, ada Kabid saya. Yang namanya sanksi, ikut mekanismenya jabatannya dan kebijakan pada jenjang dan prosedur pegawai yang lebih berwenang dalam kebijakan yang salah,” pungkasnya.
Korban yang hanya menjabat kepala seksi yang tidak punya kewenangan untuk masalah izin, jadi korban akibat kesalahan pejabat lain. Anehnya, korupsi lainnya, pejabat yang sudah jelas terlibat dalam 19 izin bodong, bahkan yang sudah jelas melanggar aturan ASN seperti kasus asusila, tidak disanksi, hancur kebijakan yang ada di Kepri ini,” tuturnya dengan mimik muka sedih.
Dengan merasa kaget, heran bercampur sakit hati yang mendalam, sekitar minggu kemarin korban diberikan sanksi berat. Kenapa pejabat yang benar-benar terlibat pada proses izin PT Wahana tidak diberikan sanksi. Pasalnya, pemeriksaan inspektorat hanya karena perpanjangan izin PT Wahana, dan untuk PT GBA, tidak yang lainnya. Namun tetap dipaksakan menjadi tumbal untuk yang lain.
“Selama ini saya berbakti untuk Pemprov dengan sepenuh hati, yang lain orang baru dan jelas bersalah kok dilindungi. Apa karena kabid perizinan di DESDM titipan Sekda Kepri dan yang lainnya sudah jelas terlibat keluarkan izin bodong, merugikan negara diperkirankan belasan sampai puluhan miliar milik negara, dan tidak ada pemasukan pajak/royalti untuk negara sampai perkebunan dan hutan, ekosistim Pulau Bintan hancur,” terangnya.
Indikasi manipulasi beberapa pejabat ESDM menjadi mafia tambang atau mafia izin IUP yang menghilangkan royalti sekitar Rp15 miliar dan bea keluar serta tarifnya sesuai aturan Kemenkeu, hanya memperkaya sekelompok dan keuntungan sendiri dengan menghilangkan pajak negara, kenapa tidak disanksi.
“Apa saya merugikan negara, atau ikut terlibat pada izin bodong. Kok kenak sanksi, bahkan lebih berat dari 2 Kadis. Saya tidak terima sanksi ini, karena tidak mendasar dan tiba-tiba saja saya mendapat surat sanksi tersebut. Hal ini saya akan laporkan ke pusat dan saya sendiri yang akan melaporkan ke KPK dan Kementerian ESDM 19 izin IUP yang terjadi, dan semua titik manipulasinya yang mungkin belum terungkap,” tuturnya.
Singkat cerita, untuk jabatan eselon 4 atau Kepala Seksi menerima lebih berat dari Eselon II yang pengambil kebijakan, dan mirisnya kepala Seksi ini menerima hukuman yang tidak tahu salahnya dimana. Seandainya bersalah, kenapa bukan Eselon III atau Kabidnya yang disanksi.
“Walaupun dikatakan Mirza sanksi itu dari pusat, dalam hal ini, dari Kemendagri itukan hanya sebatas saran dipulangkan lagi semua ke inspektorat sesuai audit dan pemeriksaan Inspektorat Kepri, bukan sepenuhnya buang badan bilang dari Itjen Dagri. Keanehan lainnya, seharusnya sanksi seperti ini dari Kementerian ESDM dan dijelaskan dirincikan poin kesalahanya, sebab akibat dari sanksi yang diberikan, tapi faktanya, tidak ada penjelasan sebab akibat, serta dasar dari sanksi tersebut,” tutupnya. (Redaksi)