KEPRINEWS – Berantas mafia tanah penguasaan lahan berdalih mengantongi HGB yang tidak diperuntukannya dengan benar sehingga menciptakan tanah terlantar di Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan.
Untuk itu atas nama Lembaga Komando Pemberantasan Korupsi (L-KPK) Kepri meminta kepda Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) agar dapat melihat, menyelidiki dan menyaksikan langsung ke sejumlah wilayah Pulau Bintan.
Ketua L-KPK Kepri, Kenndy Sihombing, kepada KepriNews.co, baru-baru ini mengatakan, untuk menjawab aspirasi petani-pengelola lahan terlantar yang sudah puluhan dan belasan tahun bercocok tanan di sejumlah lahan, kini bermunculan kembali perusahaan yang mengklaim itu adalah lahan mereka.
“Pada hal, kasus seperti ini secara fakta dan data, lahan sudah dibiarkan dengan kurun waktu yang lama, ironisnya kini banyak bermunculan, bahkan ada dengan nama perusahaan baru serobot lahan pertanian,” ungkapnya.
Bahkan perusahaan yang mengklaim kepemilikan lahan berdalih HGB tidak menggunakan lahan sebagaimana yang diamanatkan aturan.
Permintaan Kennedy selaku Ketua berama Sekretaris L-KPK agar masalah mafia tanah di wilayah Tanjungpinang-Bintan menjadi atensi APH, khususnya Kementerian ATR/BPN, biar tidak berlarut-larut masyarakat pengguna lahan mendapatkan solusi, dan tidak semena-mena mengatasnamakan perusahaan mengklaim lahan miliknya.
Disebutkan Kennedy berdasarkan sejumlah data dokumen yang dimiliki, banyak Perseroan Terbatas (PT) mengantongi surat tanah sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang tidak melaksanakan peruntukanya, alias menabrak aturan.
Akibatnya, puluhan ribu hektar tanah di Provinsi Kepulauan Riau terlantar, sementara masyarakat tidak dapat mengelola karena tanah tersebut diklaim milik perusahaan.
Contoh, PT Surya Bangun Pertiwi (SBP) mengantongi Sertifikat HGB dengan luas areal 3.000 hektar di Desa Busung, Kecamatan Seri Kuala Lobam, Kabupaten Bintan hingga saat ini tidak pernah mengelolah lahan atau membangun sesuai peruntukan.
Termasuk PT Buana Mega Wisatama (BMW) mempunyai sertifikat Hak guna Bangunan (HGB) pada tahun 1992 dengan luas 19.000 hektar yang kemudian di tahun 1995 ditambah lagi Tanahnya 4.000 hektar dengan total tanah menjadi 23.000 hektar tersebar di sembilan desa di Kabupaten Bintan.
PT BMW terlihat hanya beberapa persen lahan difungsikannya, sebagian besar menjadi lahan terlantar.
Dampaknya, ratusan kepala keluarga tergabung dalam kelompok Tani Damai yang sudah puluhan tahun mengelola lahan di desa Toupaya Utara, Kecamatan Toapaya, Kabupaten Bintan untuk pertanian diklaim masuk Plotingan PT BMW.
Kemudian kelompok Tani Kangka Desa Berakit, juga termasuk sudah puluhan tahun mengelola lahan tersebut namun dinyatakan juga masuk Plotingan PT BMW. Padahal lahan terbiar tidak diusahkan maupun dikelola perusahaan.
Hingga saat ini ratusan warga yang tergabung dalam kelompok tani di Kabupaten Bintan tidak berani masuk lokasi disebabkan jalan menuju lahan pertanian maupun kebun masyarakat tersebut ditutup dan dijaga pihak perusahaan.
Begitu juga di KotaTanjungpinang lahan Perseroan Terbatas (PT) yang memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) pada tahun 1995 tapi tidak mengolah, memanfaatkan bahkan tidak pernah melaksanakan peruntukanya.
Seperti PT Terira Pratama Development (TPD) memiliki luas lahan 2.713 Hektar. Dari luasan lahan PT ini, beberapa bidang masuk dalam Kawasan Hutan Bakau (mangrove).
Termasuk PT Yakin Perkasa Propertama (YPP) memiliki Surat Sertifikat HGB dengan luas 100 hektar lebih juga sampai hari ini belum melaksanakan peruntukanya.
Inilah bentuk perhatian L-KPK terhadap masyarakat petani yang tidak dapat melakukan aktivitas pertanian. “Karena itu kami meminta Menteri ATR/ BPN supaya turun langsung ke wilayah ini, dimana banyak permasalahan yang dialami kelompok tani terzolimi,” pintanya.
Mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang dasar dasar pokok agraria menjelaskan Pasal 27, 34 dan 40 hapus apabila ditelantarkan.
Kemudian PP nomor 20 Tahun 2021 tentang penertiban kawasan dan tanah terlantar pasal 7 ayat 3 Tanah Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai dan Hak mengelola menjadi objek penertiban tanah terlantar jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan tidak dimanfaatkan dan tidak dipelihara terhitung mulai 2 tahun sejak diterbitkannya hak.
Lembaga Komando Pemberantasan Korupsi Kepri sangat berharap kepada Menteri yang baru supaya dengan tegas melakukan tindakan sesuai dengan UU yang berlaku. “Berantas semua mafia tanah yang merusak tatanan pertanahan di negeri Kita Republik Indonesia,” tutup Kennedy. (TIM)