KN – Pemerintah Provinsi Kepri baru-baru ini melalui Inspektorat Kepri, telah mencabut 19 Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi untuk penjualan bauksit yang berlokasi di wilayah Kabupaten Bintan.
Pencabutan izin tersebut, dilakukan tentu memiliki sebab yang tidak dijelaskan dengan alasan hasil pemeriksaan bersifat rahasia menurut UU 23 dan PP 12, meski alasan pencopotan 2 kadis beberapa waktu lalu dengan gamblang disebutkan karena kesalahan prosedur dalam penerbitan izin tambang.
Ironisnya pencabutan 19 izin dilakukan setelah hampir setahun kegiatan pengambilan mineral tergali, berupa bauksit telah selesai dilakukan oleh pemegang izin.
Paska kegiatan pengambilan mineral tergali, faktanya telah menyisakan kerusakan lingkungan tanpa dilanjutkan pembangunan fisik sesuai rencana peruntukan sesuai izin yang diberikan. Hal ini dikatakan oleh sumber KepriNews.co sebagai ahli tambang (tidak mau namanya diekspos-red)
Logikanya sederhana, jika izin tersebut tidak bermasalah, tentunya tidak mungkin dicabut. Masing-masing badan usaha selaku pemegang izin diduga tidak membayar iuran produksi kepada negara saat akan menjual bauksit sesuai pasal 105 ayat (3) UU Minerba tahun 2009.
Hal tersebut sangat mungkin terjadi mengingat fakta di lapangan, para pemegang izin ini menjual bauksit ke salah satu perusahan pertambangan pemegang izin ekspor mineral yang secara aturan tidak dibenarkan.
Ia menjelaskan, sebenarnya kerusakan lingkungan tidak akan terjadi, jika pejabat pemberi izin mengikuti aturan dan mekanisme penerbitan izin sesuai Kepmen ESDM 1796.K/30/MEM/2018 tahun 2018 tentang tatacara pemberian izin di bidang pertambangan.
Dalam aturan itu, terdapat salah satu butir yang diduga telah ditabrak oleh pejabat pengevaluasi berkas permohonan izin. Seperti persyaratan melampirkan perjanjian kerjasama jual beli hasil kegiatan mineral tergali.
Dalam hal ini, diduga pengevaluasi izin telah memfasilitasi perjanjian jual beli bauksit hasil kegiatan Badan Usaha ke PT GBA yang jelas dilarang sesuai ketentuan.
Perjanjian kerjasama ini dimaknai cacat secara hukum. Pasalnya, dihasilkan dari sesuatu yang bertentangan dengan aturan. Disinilah awal masalah ketika hal ini menjadi pintu masuk bagi badan usaha lain untuk menjual hasil kegiatan untuk dijual ke PT GBA.
Hal itu menyebabkab izin yang diterbitkan cacat dalam penggunaannya dan mengakibatkan setiap pemegang izin tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran iuran produksi sesuai ketentuan UU.
Dengan begitu dapat lah dipastikan bahwa iuran produksi/royalti hasil penjualan bauksit tidak dibayarkan oleh pemegang IUP penjualan ke kas negara.
Untuk diketahui bersama bahwa perhitungan besaran/nilai iuran produksi berdasarkan PP 09 tahun 2012 tentang PNBP Minerba yaitu 3.75 % x harga jual patokan Ekspor (USD19.00) × Volume penjualan. Misalkan dengan estimasi penjualan bauksit 1.6 juta ton, maka nilai yg harus diterima negara Rp 15 miliar,
“Wow bisa bangun 5 gedung sekolah, itu hanya dari sisi royalti, dan jika dihitung + bea keluar 20% × harga jual × volume penjualan menurut aturan Kemenkeu yang harus dibayarkan bisa berkisar Rp85 miliar. Ini fakta, ada aturannya bukan kospirasi penyimpangan izin untuk memperkaya diri,” tuturnya
Jadi, dalam hal ini, bukan hanya kedua pejabat itu saja yang diberikan sanksi, tapi yang ikut memverifikasi izin tersebut harus disanksi sesuai aturan.
Dimana, terlihat adanya kesepakatan yang melanggar aturan dan merugikan negara dalam pemberian izin, pengawasan terhadap pengalian bauksit dan indikasi kecurangan lainnya, hingga bermuara pada kerusakan lingkungan yang dahsyat, kerugian negara yang besar dan pelanggaran hukumnya yang sudah jelas.
Singkat cerita, 19 izin yang dikeluarkan itu bukan hanya kedua Kadis yang disanksi, tapi mulai dari beberapa kabid yang terlibat dalam memverifikasi proses pengurusan izin.
Apa kata Inspektorat dan Dinas ESDM mengenai pencabutan izin setelah semua sudah terlambat, dan beberapa pejabat ESDM yang termasuk memverifikasi sampai 19 izin itu keluar. Tunggu KepriNews.co pada edisi selanjutnya
Penulis: Jenly