Selama 3 tahun berturut-turut, pembayaran tunjangan anggota DPRD Kota Tanjungpinang diduga fiktif. Pasalnya, realisasi pembayaran tunjangannya sejak tahun 2019 sampai 2021 tidak mengunakan produk hukum yaitu Perwako sebagai petunjuk teknis pemberian tunjangan dan formulasi nilai kemampuan keuangan daerah. Setiap tahunnya besaran tunjangan bernilai Rp17 miliar, jumlah keseluruhan adalah Rp51 miliar yang terindikasi tindak pidana korupsi.
(BAGIAN I)
KEPRINEWS – Kembali mencuat dugaan penyelewengan jabatan dan anggaran sejumlah tunjangan pimpinan serta anggota DPRD terhitung sejak tahun 2019 hingga 2021, yang mencairkan anggaran tunjangan tidak berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah, Permendagri yang harus dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) dan dijabarkan lewat Perwako.
Ketua Lembaga Pemantau Kinerja Pemerintah (LPKP) Mdh Hasin, kepada KepriNews.co, baru-baru ini mengatakan indikasi pembayaran yang melanggar hukum. Sebab, prosedur realisasi anggaran tunjangan tersebut wajib berdasarkan ketentuan Perwako sebagai petunjuk teknis pencairan.
Tunjangan yang dicairkan pada tahun 2019 hingga 2021 menabrak sejumlah hukum negara. Diketahui Perwako yang terkahir itu tahun 2018, dimana, sejumlah acuan hukum yang mendasari Perwako 2018 telah terjadi perubahan aturan dan volume kemampuan keuangan daerah setiap tahun terjadi perubahan, apa lagi 2020 dan 2021 mengalami masa pandemi. Ketentuan Perwako itu setiap tahun diupdate berdasarkan perhitungan PAD.
“Pembayaran tunjangan ini berdasarkan besaran pendapatan asli daerah. Sementara Perwako 2018, itu diproduksi sebelum terjadi Covid-19, jauh berbeda PAD saat 2019 sampai 2021, terlihat dari besaran APBD. Bahkan anggaran belanja banyak dialikasikan pada Covid-19. Intinya, pelaksanaan pencairan tunjangan yang terjadi 3 tahun secara berturut-turut itu merupakan pelanggaran hukum. Jumlah Rp51 miliar tidak mempunyai dasar hukum pencairan. Ini adalah penyelewengan anggaran yang terindikasi tindak pidana korupsi secara berjamaah,” pungkasnya.
Sejumlah pencairan yang melekat pada pimpinan dan anggota DPRD, tidak ada regulasinya, menyampingkan ketentuan hukum, yaitu uang Representasi yang diberikan setiap bulan kepada Pimpinan dan Anggota DPRD sehubungan dengan kedudukannya sebagai Pimpinan dan Anggota DPRD. Uang Paket yang diberikan setiap bulan Kepada Pimpinan dan Anggota DPRD dalam menghadiri dan mengikuti rapat-rapat dinas.
Tunjangan Jabatan berupa uang yang diberikan setiap bulan kepada Pimpinan dan Anggota DPRD karena kedudukannya sebagai Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota DPRD. Tunjangan Alat Kelengkapan yang diberikan setiap bulan kepada Pimpinan dan Anggota DPRD sehubungan dengan kedudukannya sebagai Ketua, Wakil Ketua, Sekertaris, Anggota Badan Musyawarah, Komisi, Badan Kehormatan, Badan Anggaran, Badan Kehormatan, Badan Pembentukan Peraturan Daerah, dan alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
Tunjangan Alat Kelengkapan Lain yang diberikan kepada Pimpinan dan Anggota DPRD sehubungan dengan kedudukannya sebagai Ketua, Wakil Ketua, Sekertaris, Anggota dalam panitia khusus yang tidak bersifat tetap yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna untuk membahas hal bersifat tertentu dan khusus.
Tunjangan Komunikasi Intensif yang diberikan kepada Pimpinan dan Anggota DPRD setiap bulan dalam rangka mendorong peningkatan kinerja Pimpinan dan Anggota DPRD. Tunjangan Reses yang berikan kepada Pimpinan DPRD dan Anggota DPRD setiap melakukan reses.
Tunjangan Kesejahteraan yang diberikan kepada Pimpinan dan Anggota DPRD berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, pakaian dinas dan atribut, rumah negara dan perlengkapannya, kendaraan dinas jabatan bagi pimpinan DPRD, belanja rumah tangga bagi Pimpinan DPRD, dan tunjangan transportasi bagi Anggota DPRD.
Dana Operasional Pimpinan DPRD, yang disediakan bagi Pimpinan DPRD setiap bulan untuk menunjang kegiatan operasional berkaitan dengan dengan representasi, pelayanan, dan kebutuhan lain guna melancarkan pelaksanaan tugas Pimpinan DPRD sehari-hari.
Instruksi aturan kesemuanya tunjangan diberikan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan Daerah. Ukuran spesifikasi kemampuan keuangan daerah itu berdasarkan Perwako. keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) ditentukan berdasarkan hasil perhitungan atas besaran pendapatan umum Daerah dikurangi dengan belanja pegawai aparatur sipil negara.
Data yang digunakan sebagai dasar penghitungan kemampuan keuangan Daerah sebagaimana dimaksud sesuai prosedur hukum, merupakan data realisasi APBD 2 tahun anggaran sebelumnya dari tahun anggaran yang direncanakan. Penghitungan ini dilakukan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah.
Penghasilan, tunjangan kesejahteraan, uang jasa pengabdian pimpinan dan anggota DPRD, serta belanja penunjang kegiatan DPRD merupakan anggaran belanja DPRD yang diformulasikan ke dalam Rencana Kerja dan Anggaran Organisasi Perangkat Daerah Sekretariat DPRD serta diuraikan ke dalam jenis belanja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengelolaan anggaran belanja DPRD harus dilaksanakan berdasarkan prinsip transparansi, partisipatif, taat aturan, efektif dan efisien serta akuntabilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu menggunakan teknis pembayarannya Perwako.
Realisasi pembayaran tunjangan tersebut merupaka anggaran yang tidak terpisahkan dari APBD yang dipertanggungjawabkan berdasarkan ketentuan aturan. Ketika tidak menggunakan dasar pembayaran Perwako, ini yang disebutkan pencairan bodong, pembayaran fiktif.
Dilanjutkan Hasin, secara nasional semua pertanggungjawaban mulai dari dana operasional pimpinan DPRD, wajib menandatangani pakta integritas yang menjelaskan penggunaan dana telah sesuai dengan peruntukannya, juga sesuai dengan aturan mainnya.
Pertanggungjawaban penggunaan dana dibuktikan dengan laporan penggunaan, dilengkapi dengan bukti pengeluaran yang lengkap dan sah, didasari dengan Perwako sebagai petunjuk teknis pembayaran sesuai kemampuan keuangan daerah.
Harus digaris bawahi, keberadaan Perwako adalah suatu keharusan dan kewajiban, sebagai bukti kepatuhan dalam tata kelola keuangan daerah dan meminimalisir fraud dalam pemberian tentang Petunjuk Teknis Pemberian Tunjagan.
“Ketika kita mengabaikan pembentukan Perwako ini, tak peduli dengan kepatuhan dalam tata kelola keuangan daerah, tidak hiraukan dan tak mengindahkan regulasi dalam pencairan, lalai, tidak menyusun, membuat dan membentuk Perwako sebagai Petunjuk Teknis Pemberian Tunjangan, ketika dipaksakan pencairan tanpa Perwako yang jelas, itu adalah tindak pidana korupsi,” tuturnya.
Seperti informasi yang diketahui saat ini tahun 2022, DPRD Tanjungpinang baru sibuk membuat Perwako untuk pencairan tunjungan. “Akhirnya pencairan tunjangan DPRD macet karena belum ada Perwako. Pertanyaannya, kenapa tidak dilakukan seperti tahun-tahun sebelumnya, mencairkan tanpa Perwako. Kan bisa dilakukan seperti pada tahun 2019 hingga 2021. Kenapa baru sibuk saat ini?, “tanyanya.
Singkat cerita, Perwako merupakan produk hukum daerah dalam bentuk pengaturan, juga merupakan kebijakan daerah yang saat ini sangat dibutuhkan dan diperlukan dalam kelancaran penyelenggaraan pemerintahan daerah. Perwako dibentuk dengan batasan-batasan oleh karena kuasa peraturan perundang-undangan atau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, untuk melaksanakan Perda, dan dibentuk berdasarkan kewenangan.
Perwako dibentuk melalui proses dan tahapan mulai dari perencanaan penyusunan rancangan Perwako, pembahasan rancangan Perwako, fasilitas rancangan Perwako, penomoran dan pengundangan Perwako. Selain itu, Perwako dibentuk berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, berdasarkan materi muatan peraturan perundang-undangan, dengan memperhatikan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dan yang terpenting didasarkan pada teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
“Secapatnya kami akan melaporkan ke Polda, Kejati, KPK secara resmi atas pencairan tunjangan fiktif selama 3 tahun berturut-turut di DPRD Tanjungpinang yang tidak mengunakan produk hukum yaitu Perwako sebagai petunjuk teknis pemberian tunjangan dan formulasi nilai kemampuan keuangan daerah. Pertahun berjumlah Rp17 miliar, jadi keseluruhan bernilai Rp51 miliar yang dicairkan dengan cara melanggar aturan hukum,” terangnya.
Mengetahui lebih lanjut, KepriNews.co melakukan konfirmasi dengan beberapa anggota DPRD, hanya satu orang yang menjawab. Beberapa waktu, via seluler dijawab salah satu anggota DPRD Tanjungpinang, Momon Faulanda Adinata, diarahkan ke Sekwan, sebab itu tugas dan fungsinya.
“Coba kontak Sekwan saja, karna itu tugas dan fungsinya Sekwan,” singkatnya.
Dikonfirmasi ke Sekwan dalam hal ini, Sekwan belum menjawab sejumlah pertanyaan Kepri News, sampai berita ini diterbitkan. B E R S A M B U N G (TIM)