
KEPRINEWS – Keberadaan Staf Khusus (Stafsus) Gubenur Kepri, di masa kebijakan efisiensi aggaran, yang dilantik pada tanggal 23 Januari 2025, di ruang rapat utama lantai 4 Kantor Gubernur Dompak, terus menuai kritikan dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat.
Tokoh masyarakat Kepri Jusri Sabri, kepada keprinews.co, Sabtu (15/2), meminta, Gubernur Kepri untuk segera mencabut SK dari 17 anggota Stafsus yang baru dilantik.
Pasalnya, pembayaran honorarium belasan Stafsus menguras APBD Kepri. Pembayaran honor per anggota bernilai Rp13.300.000, belum terhitung perjalanan dinas dan lainnya.
Jumlah ini dikalikan 17 orang, tiap bulan menyedot APBD sebanyak Rp226.100.000. Dalam setahun senilai Rp2,7 miliar, untuk 5 tahun ke depannya capai Rp13,5 miliar. Sementara tolak ukur pembayaran honor Stafsus tidak berdasarkan penilaian kinerjanya dan mempedomani prinsip APBD.
“Apa yang dikerjakan Stafsus secara spesifik untuk daerah. Kontribusi apa yang sudah diberikan untuk masyarakat dibandingkan dengan gaji yang diterima mereka. Ini Namanya makan gaji buta. Masalahnya, bayar mereka pakai uang rakyat, yang kerjanya hanya ngopi-ngopi, jalan-jalan tak jelas, tidak berbuat apa-apa, tapi digaji belasan juta rupiah. Ini adalah Dosa,” cetusnya.
Jusri Sabri sebut, pembayaran gajinya ini adalah dosa, dan Gubernur Kepri juga ikut berdosa. Dirinya sebagai warga yang melihat dan mengetahuinya akan ikut berdosa kalau membiarkannya. Segala sesuatu yang terlihat salah dan dibiarkan adalah dosa.
Coba biaya honor Stafsus dialihkan ke sesuatu yang lebih berguna, membangun sekolah, membantu warga miskin, atau penggunaan lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat. Dari pada bayar orang yang tidak bekerja.
Bahkan ada Stafsus yang terlihat kerjanya banyak duduk di rumah, entah apa yang dikerjakannya bagi daerah, namun terima honor belasan juta tiap bulan.
“Kalau mau bantu atau balas jasa Pilkada, jangan korbankan uang rakyat, pakai lah uang pribadi. Suruh mereka kerja, main proyek kah atau dikasih kegiatan lainnya, biar tidak terima gaji buta,” ungkap Jusri, salah satu tokoh masyarakat yang ikut berpartisipasi, berkorban waktu dan dana pada Pilkada 2024 untuk memenangkan Ansar.
Seirama dengan itu, aktivis mahasiswa Tanjungpinang Josua, ikut mengkritisi adanya Stafsus yang mengabaikan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025, yang diteken Prabowo pada 22 Januari 2025.
Lanjut Josua, mengutip dari pidato Presiden Prabowo, meminta kepala daerah membatasi jumlah tim yang akan membantu jalannya program kepala daerah.
“Sudah jelas arah dan maksud Inpres yang membatasi belanja honorarium, pembatasan tim kepala daerah. Yang ada, di Pemprov Kepri malah sebaliknya, dari 16 orang bertambah menjadi 17 orang,” ucapnya.
Bahkan besaran honor Stafsus di 2025 bakal menjadi Rp15 juta per orang, berdasarkan penjelasan Sekda di media lokal. Ini artinya, kebijakan anggaran Gubernur Ansar melanggar ketentuan yang dikeluarkan presiden.
Mengacu pada prinsip penggunaan anggaran APBD untuk biaya honorarium, harus dilakukan dengan sistim penerapan penganggaran berbasis atau berorientasi pada kinerja, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya (Performance Based Budget).
“Karyawan perusahaan atau penjaga tokoh aja itu dibayar berdasarkan hasil kerjanya. Apa lagi pembayaran honornya bersumber dari APBD yang diatur UU. Bayangkan gaji stafsus hampir 4 kali lipat dari Upah Minimum Provinsi (UMP) yang dibayarkan tidak prosedur. Eksekusi sumber daya APBD dalam bentuk honor, yang tidak berpedoman pada pencapaian target kinerja, dapat dikategorikan pembayaran fiktif,” jelasnya.
Karena itu, diminta Gubernur Kepri agar lebih bijaksana dalam penggunaan anggaran. Bukan rahasia umum lagi, Stafsus direkrut sebagai balas jasa, mengakomodasi sejumlah tim sukses Pilkada, yang dianggap berjasa memenangkan gubernur.
Berbicara soal tim sukses gubernur, masih banyak lagi masyarakat yang lain mungkin lebih banyak berkorban dan berkeringat untuk memenangkan pilihannya. Lebih jelasnya, Gubernur Ansar menang dalam Pilkada, itu tidak ditentukan oleh 17 orang ini. Bisa dibilang, kemenangan yang diraih Ansar, belasan orang tersebut tidak memberikan efek pengaruh apapun untuk masyarakat pemilih.
Penyelenggaraan pemerintahan akan jauh lebih baik apa bila Stafsuf dibubarkan. Bukan hanya itu, perubahan dan peningkatan kualitas pelaksanaan anggaran, khususnya pengelolaan keuangan daerah dapat dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara, ketika salah satu beban APBD yang salah peruntukan, itu diperbaiki sebelum terlambat.
Sejumlah isu miring yang mencuat ke publik, eksistensi Stafsus di OPD, sesuai pengeluhan beberapa pejabat Pemprov, yang menyayangkan adanya intervensi berlebihan, terlalu mencampuri urusan kedinasan, kegiatan proyek dan lainnya, sangat mengganggu kinerja PNS.
Beberapa anggota Stafsus yang dikonfirmasi media ini, melalui via WhatsApp, terkait keberadaannya yang dikeluhkan sejumlah Pejabat, termasuk penolakan masyarakat disebabkan menabrak Inpres, Sabtu (15/2), belum menjawab, sampai berita ini diterbitkan. (tim)