KEPRINEWS – Salah satu tempat yang mengandung sejarah yang di Lingga yaitu istana damnah. Istana ini mempunyai bentuk persegi delapan yang sangat unik dan juga bisa dijadikan sumber sejarah. Menurut sejarah, Istana ini merupakan rumah dari penguasa Riau dan Lingga.
Plt Kadispar Kepri, Luki Zaiman Prawira, kepada keprinews.co, Minggu, (5/11), menjelaskan, bahwa situs ini merupakan bekas dari Istana Damnah, berada sekitar 2,5 km di sebelah barat Masjid Sultan Lingga.
Istana Damnah dibangun oleh Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah III (1857 – 1883), pada saat kerajaan Melayu Riau – Lingga mengalami masa kejayaan. Istana Damnah sekarang hanya tinggal puing-puing saja.
Istana Damnah masih dapat digambarkan bahwa komplek Istana Damnah dahulu terdiri dari dua bangunan yaitu bangunan Istana dan Balairung.
Seorang masyarakat di Lingga, yang mengetahui sejarahnya, Hamad, menambahkan, bahwa lingkungan situs bekas istana Damnah sekarang berupa tanah perladangan dan hutan sekunder. Dari sisa-sisa bekas Istana Damnah masih dapat digambarkan bahwa kompleks Istana Damnah dahulu terdiri dari dua bangunan, istana dan balairung (pendopo).
Kesultanan Lingga merupakan Kerajaan Melayu yang pernah berdiri di Lingga, Kepulauan Riau, Indonesia. Lingga pada awalnya merupakan bagian dari Kesultanan Malaka, dan kemudian Kesultanan Johor. Berdasarkan Tuhfat al-Nafis, Sultan Lingga merupakan pewaris dari Sultan Johor, dengan wilayah mencakup Kepulauan Riau dan Johor.
Kerajaan tersebut diakui keberadaannya oleh Inggris dan Belanda setelah mereka menyepakati Perjanjian London tahun 1824, yang kemudian membagi bekas wilayah Kesultanan Johor setelah sebelumnya wilayah tersebut dilepas oleh Siak Sri Inderapura kepada Inggris tahun 1818, namun kemudian diklaim oleh Belanda sebagai wilayah kolonialisasinya.
Perjanjian London pada 1824 membagi Kesultanan Johor menjadi dua: Johor berada di bawah pengaruh Britania sedangkan Riau- Lingga berada di dalam pengaruh Belanda. Abdul Rahman ditabalkan menjadi raja Lingga dengan gelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah, dan berkedudukan di Daik, Kepulauan Riau.
Pada tanggal 7 Oktober 1857 pemerintah Hindia-Belanda memakzulkan Sultan Mahmud IV dari tahtanya. Pada saat itu Sultan sedang berada di Singapura. Sebagai penggantinya diangkat pamannya, yang menjadi raja dengan gelar Sultan Sulaiman II Badarul Alam Syah.
Jabatan raja muda (Yang Dipertuan Muda) yang biasanya dipegang oleh bangsawan keturunan Bugis disatukan dengan jabatan raja oleh Sultan Abdul Rahman II Muadzam Syah pada 1899. Karena tidak ingin menandatangani kontrak yang membatasi kekuasaannya Sultan Abdul Rahman II meninggalkan Pulau Penyengat dan hijrah ke Singapura.
Pemerintah Hindia Belanda memakzulkan Sultan Abdul Rahman II in absentia 3 Februari 1911, dan resmi memerintah langsung pada tahun 1913.
“Tempat ini sangat bagus untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata bersejarah,” tutupnya. (red)