Predator politi merupakan hipotesis atas pengaruh keluarga dalam membentuk nilai, moral, maupun orientasi kekuasaan sehingga terjadi model kekuasaan monarki dengan trend politik dinasti. Politik Famili merupakan bentuk kolektif dari patronase elit dalam wujud kolektif yang didasarkan pada hubungan keluarga yang intinya memunculkan karakter monarki yang mencederai esensi demokrasi.
KEPRINEWS – Saat ini lagi trend politik kekerabatan atau dinasti politik, dimana satu keluarga ingin memegang kekuasaan masing-masing atau secara bergantian. Regenerasi politik ini berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, untuk mewujudkan seorang pemimpin yang berkualitas. Cara politik ini kelihatan seperti mengikuti jalur politik prosedural, walaupun kenyataan menggunakan sumberdaya keluarga, dari pengaruhnya, strateginya untuk menang dalam Pilkada.
Salah satu mahasiswa pemerhati politik alumni Australia National University Canberra, Fatkhuri yang dilansir KepriNews.co mengungkapkan bahwa sebuah politik dinasti mengandaikan kepemimpinan berada di tangan kekerabatan, famili. Biasanya ini adalah cara agar sanak famili bisa dengan mudah meraih jabatan publik.
Politik dinasti juga ditandai dengan adanya satu keluarga, ayah, ibu dan anak yang menduduki posisi strategis dalam lembaga politik. Tujuannya adalah keluarga dengan mudah mendapatkan jabatan tinggi dalam organisasi politik. Sehingga politik dinasti lebih cenderung menampilkan melahirkan pemimpin yang tidak berkompeten dan memiliki rekam jejak perpolitikan.
Survei membuktikan, analisis politik dengan kemunculan politik dinasti di akibatkan oleh adanya kemandulan demokrasi. Sebab, hal ini yang kemudian secara struktural mengakibatkan otonomi overdosis, kemudian kekuasaan sekeluarga di daerah. Dinasti inilah yang menekan kaderisasi partai politik yang berkualitas tidak memiliki kesempatan untuk maju.
Perilaku politik dapat di lihat dari sudut pandang sosiologis, psikologis dan rasionalitas. Dalam hal ini, politik dinasti dilihat dari sudut pandang sosiologis, psikologis dan rasionalitaspolitik, merupakan alat (strategi bahkan sistem) yang digunakan oleh elit politik dalam melakukan aktivitas politiknya sebagai upaya mengekalkan kekuasaan dengan melibatkan keluarga, baik itu secara bersamaan atau gantian.
Lanjutnya, politik dinasti di Indonesia merupakan wujud dari perilaku politik (political behavioralism) para aktor politik dalam melanggengkan, mengamankan kekuasaan politik dengan menempatkan keluarganya dalam posisi strategis baik di bidang formal pejabat publik (pemerintahan) maupun informal (proyek-proyek atau bisnis).
Politik Dinasti Layaknya Arisan Keluarga
Wakil Ketua DPD 1 IPK Provinsi Kepri Iwan Key kepada KepriNews baru-baru ini menambahkan bahwa budaya politik berdinasti merupakan strategi pengkekalan kekuasaan untuk keluarganya karena adanya keinginan keluarganya terlibat dalam kekuasaan, baik itu secara bersamaan atau secara estafet yang terorganisir.
Hal ini merupakan serangkaian kolaborasi mengabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politik dengan mendayagunakan sumber daya elit politik pada suatu jabatan untuk mendayagunakan keluarganya dalam kekuasaan atau jabatan. Mendayafungsikan pengaruh para elit politik membangun dinasti, alih-alih berkompetisi secara adil dan terbuka sampai proses menang, yang mencederai sistem demokrasi.
Kondisi politik inilah yang cukup mengkhawatirkan, karena ekses negatif dari hasrat berkuasa yang sering menimbulkan persoalan di ruang publik, dan hanya memberikan ruang kecil untuk kader-kader partai yang berprestasi untuk ikut dalam pesta demokrasi.
“Semakin besar volume dinasti, maka semakin kecil untukperan partai politik dalam berdemokrasi. Konsekuensinya, proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik itu akan mandul dengan tekanan politik dinasti yang semakin kuat. Peran partai politik yang berjalan baik tidak dipengaruhi oleh sumber daya kekuasaan dinasti, maka proses rekrutmen kandidat yang berprestasi dan berpengalaman bejalan sesuai tujuan partai, sehingga akan lahir orang-orang terbaik memimpin daerah,” pungkasnya.
Dinasti Membuat Orang Yang tak Berkompeten Memiliki Kekuasaan.
Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM AGN Ari Dwipayan yang dilansir KepriNews.co mengatakan dengan dibiarkannya dinasti politik itu terjadi, cita-cita kenegaraan itu gagal untuk mewujudkan demokrasi yang melahirkan pemimpin atau pejabat yang mempunyai kapabilitas dan berkompeten dalam menjalankan tugas.
Dimana, Dinasti politik bukanlah sistem yang diterapkan di negara kita Indonesia, sebab negara Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki (kerajaan-red) yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan, tapi berdasarkan demokrasi.
Dalam dunia politik memang tidak terlihat oleh aturan bahwa politik dinasti salah. Apa lagi seringkali politik dinasti mengacu pada dalil demokrasi, bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa dinasti politik yang berkembang selama ini telah mencederai esensi demokrasi itu sendiri.
Demokrasi dicirikan oleh setidaknya tiga karakter. Pertama, pembagian kekuasaan ala trias politika yakni eksekutif, yudikatif dan eksekutif. Hal ini dimaksudkan agar terjadi proses check and balances antar lembaga pemerintah. Kedua, demokrasi dicirikan dengan suksesi kepemimpinan yang terbuka, melalui mekanisme pemilihan umum yang adil, jujur dan terbuka. Ketiga, rakyatlah pemegang kedaulatan, bukan pemerintah apalagi politisi.
Dengan maraknya dinasti politik, tiga pilar demokrasi itu berada dalam ancaman besar. Sistem check and balances dipastikan tidak akan berjalan efektif manakala semua lini dikuasai orang-orang yang sekerabat. Rapat-rapat atau sidang-sidang yang sedianya menentukan hajat hidup orang banyak justru lebih mirip arisan keluarga. Jika sudah demikian, maka sudah sepatutnya kita mengucapkan selamat tinggal good governance.
Seorang pemimpin mutlak dituntut punya pemahaman yang sahih tentang etika politik. Bahwa politik bukanlah alat meraih kekuasaan semata. Lebih dari itu, politik adalah alat untuk mewujudkan tata kehidupan yang adil, damai dan sejahtera. Politik yang dipahami sebagai alat untuk meraih kekuasaan niscaya terjebak dalam kompetisi meraih dan mempertahankan jabatan, dengan menghalalkan segala cara untuk regenerasinya.
Dalam praktiknya, politik yang seperti itu dapat dipastikan abai pada norma dan etika politik. Maka menjadi wajar manakala politik praktis identik dengan konspirasi, intrik, konflik bahkan perilaku-perilaku koruptif. Banyaknya kepala daerah yang membangun dinasti politik dan kemudian terjerat kasus korupsi adalah contoh nyata bagaimana politik dinasti lekat dengan penyelewengan kekuasaan.
Politik dinasti harus diakui merupakan manifestasi dari absennya etika politik di pentas politik, terutama di level daerah. Otonomi yang sedianya bertujuan memeratakan hasil pembangunan justru melahirkan raja-raja kecil yang menjadikan kekuasaannya sebagai alat memperkaya diri sendiri dan kerabatnya.
Pada konteks inilah ujaran “rakyat butuh pendidikan politik” yang sering dikumandangkan para politisi menjadi tidak relevan. Bukan rakyat yang butuh pendidikan politik, sebaliknya justru politisilah yang lebih membutuhkan. Mereka, para politisi itu seharusnya tahu bahwa politik dan kekuasaan sedianya tidak lepas dari prinsip-prinsip moral dan etika.
Demokrasi dalam sejarahnya merupakan bentuk pemerintahan di mana semua warga memiliki tidak hanya hak namun juga kewajiban untuk berperan aktif dalam tiap pengambilan keputusan. Demokrasi lahir sebagai kritik keras terhadap oligarki dan monarki yang penuh bias dan ketidakadilan. Menjadi ironis apabila demokrasi yang bertumpu pada terbukanya akses pada semua lapisan masyarakat itu justru ditelikung oleh kemunculan dinasti-dinasti politik. (Redaksi01)