
Oleh : Ismet Dwi Agus riauwaldi
ketua komisi II SENAT MAHASISWA STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau
Saya melihat, pemberian abolisi oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Tom Lembong sebagai momentum kritikal dalam dinamika tenggara politik hukum dan nilai keadilan di Indonesia.
Secara akademik, saya menyadari bahwa tindakan ini menciptakan ketegangan yang mendalam antara dua prinsip utama.
Pertama, prinsip rekonsiliasi dan perdamaian politik yang memungkinkan abolisi diposisikan sebagai instrumen meredam konflik dan menyatukan kelompok-kelompok yang berseteru. Saya memahami bahwa dalam konteks tertentu, langkah ini bisa dianggap sebagai upaya konstruktif untuk membangun kembali ruang politik yang inklusif dan damai.
Kedua, prinsip supremasi hukum dan pencegahan korupsi yang menurut saya tidak boleh tergadai. Dalam kerangka hukum pidana dan tata negara, pemberian abolisi kepada pejabat publik yang terbukti menyalahgunakan wewenangnya, tanpa proses transparan dan penuh akuntabilitas, dapat melemahkan efektivitas hukum dan melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem penegakan hukum.
Bagi saya, jika abolisi diberikan secara tertutup, tanpa mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka risikonya sangat tinggi.
Pertama yakni mendorong kriminalisasi kebijakan, di mana pejabat publik yang membuat keputusan kontroversial justru dibebaskan secara politik, sementara aparat teknokratis tetap dihukum.
Lalu kedua, memunculkan impunitas selektif terhadap elite, yang kemudian menggerus rasa keadilan substantif di mata masyarakat.
Kemudian yang ketiga, erosi kepercayaan publik, karena warga akan merasa bahwa hukum tidak berlaku sama di bawah sistem norma dan institusi yang tidak konsisten.
Namun, saya juga menyadari bahwa jika abolisi tersebut didasarkan pada pertimbangan hukum yang matang, terdapat restitusi terhadap negara, dan disertai konstruksi paradigma baru hukum yang inklusif maka tindakan tersebut bisa saya pandang sebagai Sebuah paradigma rekonsiliasi yang berbasis keadilan hukum (reconciliation through justice), bukan sekadar politik kekuasaan.
Dan juga Langkah rekonstruksi politik hukum yang membangun kembali kepercayaan antar publik dan negara.
Dengan demikian, posisi saya jelas saya mendorong pemberian abolisi hanya apabila disertai mekanisme transparansi penuh, akuntabilitas hukum, dan restitusi nyata.
Tanpa itu, saya percaya abolisi tidak menjadi jalan perdamaian, tetapi malah menjadi potensi ancaman terhadap supremasi hukum yang merupakan tiang utama integritas bangsa.



























