KEPRINEWS – Kapolda Kepri Irjen Pol Andap Budhi Revianto mengatakan, keberlangsungan tari Melayu mengalami perkembangan dan improvisasi. Hal inilah yang dilakukan Polda Kepri untuk melestarikan tarian Melayu di bumi pertiwi. Dengan kata lain, improvisasi gerakan menjadi salah satu upaya agar generasi muda tidak bosan dan tertarik mempelajarinya.
Tari Melayu adalah satu di antara produk budaya masyarakat yang ada di Nusantara khususnya di Kepulauan Riau yang tidak luput mengalami pengaruh dan dinamika sejarah dan sosial masyarakat. Sebagai sebuah produk dari entitas masyarakat, tari Melayu dalam kesejarahannya tidak bisa merujuk pada sebuah batas teritori satu wilayah, dan bahkan satu negara tertentu.
Tarian ini bahkan merupakan produk sebuah bangsa yang bisa dilacak hadir sebelum adanya batas negara, sehingga keberadaannya bisa dirujuk pada banyak negara dalam satu kawasan. Sebagai budaya, Melayu pada dasarnya tidak bisa diklaim sebagai milik satu negara tertentu.
Pada periode tahun 1950-an, tari Melayu banyak berkembang di Negara Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam. Bahkan Soekarno sempat mencanangkan para pemudi-pemuda Indonesia untuk belejar tari Melayu “Serampang 12” sebagai usaha untuk membentengi pergaulan dari tarian-tarian budaya Barat (Cha-Cha, Waltz, Agogo, dan lainnya-red) yang trend di kalangan anak muda kala itu.
“Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung sebagaimana,” singkap Kapolda. Dalam hal ini Polda Kepri turut membudayakan dan menjaga Budaya Melayu sebagai salah satu unsur Kebudayaan Nasional.
Polda Kepri akan mempersembahkan Tarian Kolosal Melayu pada upacara peringatan hari Bhayangkara ke 73 tahun 2019, pada tanggal 10 Juli 2019.
“Semangat Tarian Kolosal ini untuk menunjukkan bahwa seluruh komponen masyarakat bersatu dan bersama-sama di dalam menjaga BUNDA TANAH MELAYU, BUMI SEGANTANG LADA, KEPULAUAN RIAU yang tercintia,” tutupnya. (Redaksi 01)